Liputan6.com, Jakarta Penerapan pajak baru akan dimulai setelah pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu yang diatur adalah mengintegrasikan fungsi NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai pengganti NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan integrasi NPWP dengan NIK di Indonesia terbilang cukup ketinggalan dibanding negara lain.
Baca Juga
“Kita cukup tertinggal soal ini, di negara maju NIK dan NPWP jadi satu paket. Saya waktu 2008 ketemu orang kantor pajak Swiss, dia bilang ada anak baru lahir itu registrasinya ke kantor pajak bukan ke catatan sipil,” kata Yon Arsal dalam acara diskusi UU HPP, di Denpasar, Bali, Rabu (3/11/2021).
Advertisement
kendati begitu, dengan adanya integrasi NIK dan NPWP bukan berarti masyarakat diharuskan membayar pajak. Namun, tujuan pastinya untuk mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan dan mempermudah wajib pajak orang pribadi melaksanakan pemenuhan kewajiban hak dan kewajiban perpajakan.
Adapun sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai banyak masyarakat yang salah paham dan berasumsi dengan rencana NIK jadi NPWP ini.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Administratif
Ditegaskan jika tujuan dari penambahan fungsi NIK menjadi pengganti NPWP ini agar pembayaran pajak untuk wajib pajak orang pribadi bisa lebih terpantau secara administratif.
"UU PPh itu untuk wajib pajak orang pribadi, dan sering dipelintir bahwa setiap punya NIK langsung bayar pajak. Saya ingin tegaskan dengan UU HPP," ujar Sri Mulyani.
Demikian, Menkeu pun membuktikan dengan memberi contoh jika dalam UU HPP menyebutkan jika setiap orang pribadi berpenghasilan Rp 4,5 juta per bulan, atau 54 juta orang pribadi belum menikah alias single per tahun, dipastikan tidak kena pungutan pajak atau disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Advertisement