Liputan6.com, Jakarta - Semakin mendekati akhir 2021, pasar mulai mengkaji ekspektasi pertumbuhan yang wajar di 2022 secara lebih tepat. Terlebih pasar sudah lebih mengantisipasi sentimen-sentimen yang berpotensi membuat pasar finansial lebih volatil.
Salah satu yang yang dicermati pasar adalah kondisi paska penerapan kebijakan the Fed tapering di bulan November ini.
Seperti apa pergerakan pasar obligasi dan saham paska Fed tapering, dan bagaimana investor bisa memanfaatkan peluang investasi dari hal ini? Simak penjelasan Dimas Ardhinugraha, Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), seperti dikutip Liputan6.com pada Senin (15/11/2021):
Advertisement
Sinyal positif dari global
Seiring perjalanan waktu, penyesuaian ekspektasi pasar menjelang akhir 2021 dapat memberikan dasar pengambilan keputusan yang lebih baik bagi investor dalam menghadapi dinamika di 2022.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB global tahun 2021 ke 5,9 persen dari sebelumnya di level 6 persen, sementara untuk proyeksi pertumbuhan di 2022 tetap di level 4,9 persen.
Walaupun pertumbuhan PDB di 2022 lebih rendah dibandingkan 2021, proyeksi ini masih lebih tinggi dibandingkan data historis jangka panjang, dan tetap suportif bagi pasar finansial.
Keberhasilan penanganan pandemi dan tingkat vaksinasi yang beragam di tiap negara memang membuat pemulihan ekonomi global di 2021 tidak merata, namun peningkatan dan pemerataan vaksinasi secara global di 2022 diyakini akan menopang pertumbuhan global di 2022.
Semakin banyak negara yang mengubah strategi penanganan pandemi dari dari zero covid menjadi live with covid mengurangi risiko restriksi ketat dan kondisi ini dapat mendukung konsistensi pertumbuhan global di 2022.
Baca Juga
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pasar antisipasi Fed tapering
Fokus pasar di November ini masih mengacu pada penerapan Fed tapering. Mengantisipasi ekspektasi peningkatan inflasi, pasar finansial mulai menyesuaikan ekspektasi peningkatan frekuensi kenaikan Fed Rate di 2022. Namun sejauh ini The Fed memandang kenaikan inflasi bersifat sementara dan belum melihat potensi kenaikan suku bunga secara agresif.
Berbeda dengan di Amerika Serikat (AS), tekanan inflasi di Asia saat ini relatif lebih terjaga, dipengaruhi oleh pembatasan aktivitas ekonomi, intervensi pemerintah atas harga energi, dan juga pangan yang berkontribusi besar dalam keranjang inflasi. Di tengah kebijakan fiskal yang lebih ketat, outlook kebijakan moneter Asia diperkirakan tetap akomodatif dan menjadi salah satu faktor pendorong utama pemulihan ekonomi.
Di kawasan Asia Tenggara, ASEAN4 termasuk Indonesia, yang sempat mengalami mismanagement penanganan pandemi, dukungan stimulus yang tidak terlalu agresif, dan pembukaan aktivitas ekonomi yang kurang merata, justru memiliki ruang ekspansi ekonomi yang lebih tinggi di 2022. Kondisi ini diharapkan memberikan sentimen yang positif terhadap perekonomian dan pasar finansial Indonesia.Â
Advertisement
Peluang di pasar obligasi dan pasar saham
Pasar obligasi kini lebih siap dalam menghadapi tren perubahan sentimen global ini. Faktor kepemilikan asing yang jauh lebih rendah dibandingkan periode-periode sebelumnya, dinamika pasokan obligasi yang lebih baik dan tingkat imbal hasil obligasi Indonesia yang menarik diharapkan dapat meredam dampak kebijakan moneter The Fed yang lebih ketat di 2022. Fundamental makro yang lebih baik dan stabilitas eksternal yang terus diperkuat diharapkan dapat menjaga volatilitas pasar obligasi Indonesia.
Di pasar saham, aliran dana asing masuk pasar saham semakin kuat bahkan menjelang pengetatan moneter The Fed. Minat terhadap saham kapitalisasi besar mulai menunjukkan perbaikan didukung oleh membaiknya situasi pandemi dalam negeri. Sementara itu, saham ekonomi digital menawarkan prospek jangka panjang yang menarik didukung tren struktural industri yang mengarah ke digital dan potensi inklusi pada indeks saham global.
Faktor-faktor tersebut menjadi peluang bagi investor untuk menambah portofolio investasinya di reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana saham. Sebagai contoh reksa dana Manulife Pendapatan Bulanan II (MPB II) dari Manulife, sejak diluncurkan Januari 2009, MPB II telah mencatatkan kinerja historis rata-rata 6,36 persen per tahun (per Oktober 2021), mengungguli rata-rata inflasi tahunan Indonesia.
Reksa dana lain milik Manulife, yaitu reksa dana Manulife Saham Andalan (MSA), sejak peluncurannya di November 2007 berhasil mencatatkan kinerja historis rata-rata 6,84 persen per tahun, diatas tolok ukur (Indeks IDX80) yang sebesar 5,80 persen.
Sekarang tinggal investor yang menentukan, akan memilih yang mana. Namun sebelum keputusan investasi dijatuhkan, pastikan untuk menyesuaikan terlebih dahulu dengan profil risiko masing-masing, agar tidak menyesal kemudian.
Â