Liputan6.com, Jakarta - Upah Minimum Provinsi atau UMP 2022 mengalami kenaikan rata-rata nasional 1,09 persen. Komposisi kenaikan UMP 2022 tersebut mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Kenaikan upah minimum ini lantas banyak diprotes karena dinilai tidak sejalan dengan tuntutan rakyat dan kaum buruh. Namun, pemerintah punya alasan tersendiri mengapa UMP 2022 hanya dinaikan 1,09 persen.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan, upah minimum di Indonesia masih terlalu tinggi. Bahkan, sebagian besar pengusaha disebutnya tidak mampu lagi menjangkaunya.
Advertisement
Itu terlihat dari banyak pengusaha yang menjadikan upah minimum sebagai upah efektif. Sehingga kenaikan upah bagi karyawan cenderung hanya mengikuti upah minimum tanpa didasari oleh kinerja individu.
"Kondisi upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya, dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan," ujar Ida, dikutip Selasa (23/11/2021).
Menurut dia, upah minimum ketinggian ini bisa terlihat dari metode Kaitz Index. Perhitungannya, dengan membandingkan besaran upah minimum yang berlaku dengan median upahnya.
Kenyataannya, besaran upah minimum di seluruh wilayah Indonesia ternyata sudah melebihi median upahnya.
"Indonesia jadi satu-satunya negara dengan Kaitz Index lebih besar dari 1, dimana idealnya berada pada kisaran 0,4-0,6 persen," ungkap Ida.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Produktivitas Rendah
Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari coba menjelaskan lebih detil soal pernyataan Menaker terkait upah minimum yang masih terlalu tinggi. Itu kemudian dikomparasikan dengan nilai produktivitas tenaga kerja Indonesia yang terbilang rendah.
"Ketika Ibu (Menaker Ida) mengatakan upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap pekerja itu sah mendapatkan upah lebih rendah. Ketinggian itu, komparasinya kalau dilihat dari nilai produktivitas, kemampuan kita bekerja efektif dan efisien," terangnya.
Dita memaparkan, nilai produktivitas buruh cenderung lebih rendah dibandingkan dengan upahnya. Bahkan, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia masuk dalam urutan ke-13 di Asia.
"Baik jam kerjanya maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Komparasinya ketinggian itu (antara upah minimum dan produktivitas), tapi bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil," bebernya.
Advertisement
Terlalu Banyak Libur
Dari sisi jam kerja, Dita melanjutkan, Indonesia sudah memberikan terlalu banyak hari libur bagi pekerja. Jika dibandingkan dengan negara tetangga lain, jumlah hari libur di Indonesia masih tergolong lebih banyak.
"Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak," sebutnya.
Indonesia dalam setahun memiliki 20 hari libur, belum termasuk adanya jadwal cuti bersama, cuti tahunan, curi kelahiran anak, dan lain-lain. Sementara di Thailand, dalam setahun hanya ada kurang lebih 15 hari libur saja.
Dengan semakin sedikitnya jam kerja, Dita menambahkan, output atau hasil kerja yang diberikan buruh di Indonesia pun tergolong minim.
"Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian, enggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja," papar Dita.
"Artinya kalau upah enggak cocok dengan outputnya, kesimpulannya upah kita terlalu tinggi," tegasnya.
Reaksi Buruh
Sikap yang diberikan pemerintah tersebut mendapat reaksi keras dari kelompok buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menepis pendapat Menaker Ida yang mengatakan upah minimum di Indonesia sudah terlalu tinggi.
Dia pun membeberkan data milik World Data yang menyatakan upah minimum Indonesia masih di bawah beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Singapura hingga Malaysia. Namun, hanya sedikit lebih tinggi dibanding Kamboja, Laos hingga Myanmar.
Iqbal pun membandingkan data tersebut dengan yang dimiliki Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang berkantor di Jakarta. Menurut ILO, upah rata-rata buruh di Indonesia hanya berada pada kisaran USD 174 per bulan, atau setara Rp 2,47 juta (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
Advertisement
Angkatan Kerja Besar
Selain itu, Iqbal juga mempertanyakan perbandingan produktivitas buruh Indonesia yang dinilai rendah. Menurutnya, wajar saja angkanya rendah, sebab indikator yang ada dibagi dengan jumlah angkatan kerja yang besar, belum ditambah pengangguran yang mustinya jadi tanggung jawab pemerintah.
Diutarakan Iqbal, perbandingan produktivitas semustinya dilakukan secara sektoral, semisal pariwisata di Bali dan Phuket, Thailand.
Dia mengatakan, Pulau Dewata merupakan 3 besar destinasi wisata dunia. Sementara Phuket hanya berada di posisi 20 besar. Tapi kenyataannya, upah minimum di Bali masih lebih rendah dibandingkan Phuket
"Upah minimum Bali Rp 2,5 juta, sementara Phuket Rp 4,1 juta. Produktif yang mana? Ya jelas Bali, dengan upah sebesar itu jadi destinasi terbesar ketiga dunia," serunya.
Tak Sesuai Inflasi
Kenaikan UMP 1,09 persen pun diklaim tak masuk akal karena masih lebih kecil daripada angka inflasi. Iqbal mencontohkan, Jawa Barat memiliki inflasi 1,79 persen, lebih besar dibanding rata-rata UMP nasional.
"Masa upah naik 1,09 persen, inflasi 1,79 persen, upahnya jadi di bawah inflasi? Sudah pasti buruh nombok karena lebih besar inflasi, belum lagi harga yang naik," singgung Iqbal.
Upah minimum yang naik sedikit itu dikatakannya memberi kesan bahwa pemerintah tidak peduli nasib buruh. Dia menegaskan, jika pemerintah ingin memiskinkan buruh, sebaiknya tidak perlu dilakukan.
"Mending tidak naik saja. Buruh nombok karena upah naik di bawah inflasi. Kalau ingin memiskinkan buruh mendingan tidak usah ada kenaikan," tegas Iqbal.