Liputan6.com, Jakarta Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sejumlah kebijakan dan inisiatif terus dilakukan.
Salah satunya adalah keputusan Kementerian BUMN yang membentuk holding pelabuhan Indonesia (Pelindo). Penyatuan Pelindo I-IV ini dinilai sebagai momentum untuk menciptakan supply chain logistik pelabuhan yang lebih efisien.
Baca Juga
Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi mengatakan, sebagai negara kepulauan, pelabuhan menjadi salah satu kunci pendorong ekonomi Indonesia. Sayangnya, operasional pelabuhan di Indonesia masih boros biaya. Akibatnya biaya logistik menjadi sangat mahal sehingga daya saing nasional sulit beranjak naik.
Advertisement
Dengan adanya integrasi semua pelabuhan milik BUMN dalam satu atap komando, kata Siswanto, diharapkan setiap pelabuhan memiliki sistem dan standar kualitas layanan yang sama.
“Indonesia adalah negara kepulauan dengan segala potensi dan tantangannya. Pembentukan holding pelabuhan harus diikuti dengan kebijakan yang mampu memangkas mata rantai birokrasi yang selama ini menciptakan ekonomi biaya tinggi. Efisiensi logistik ini akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi kita,” jelas Siswanto di Jakarta, Rabu (24/11/2021)
Lebih jauh Siswanto menjelaskan, biaya mahal logistik sejatinya dapat ditelusuri sejak barang diangkut dari gudang milik konsumen hingga sampai ke lokasi tujuan. Dari mata rantai perjalanan barang tersebut, berbagai biaya sudah mengikuti. Mulai biaya yang sifatnya pasti maupun biaya lain yang seringkali tidak terukur.
“Efisiensi logistik harus lebih fokus pada aktivitas yang berada di darat. Seperti memperpendek birokrasi dan mendorong digitalisasi layanan pelabuhan agar biayanya semakin terukur dan pasti. Mengharapkan biaya pelayaran untuk lebih efisien rasanya sulit karena ruang untuk itu sangat terbatas,” jelasnya.
Sementara itu, dalam kajiannya Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menemukan fakta kawasan pelabuhan menjadi salah satu faktor pemicu tingginya biaya logistik. Dalam kajian periode 2021–2022 itu menurut Stranas PK, faktor birokrasi dan layanan di pelabuhan laut yang tidak terintegrasi dan tumpang tindih, termasuk banyaknya instansi pemerintah yang terlibat serta rendahnya koordinasi menjadikan biaya logistik mahal.
Direktur Strategi PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Prasetyo mengungkapkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dari 23 persen itu, biaya logistik di laut hanya sekitar 2,8 persen. “Yang lainnya terdistribusi pada beberapa peran yaitu darat, utamanya di inventory dan beberapa bagian lain," katanya dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (20/11) lalu.
Prasetyo menuturkan ada lima faktor utama pemicu biaya logistik tinggi. Pertama adalah regulasi dari pemerintah, terutama dalam hal ekosistem atau pelayanan logistik. Kedua, efisiensi value chain darat karena keterbatasan infrastruktur dan kurangnya konektivitas antara darat dengan pelabuhan. Ia mencontohkan pengembangan jalur infrastruktur darat di Pulau Jawa atau trans Jawa ikut merubah peta logistik nasional.
Faktor ketiga menyangkut efisiensi value chain maritim yang masih belum optimal. Contohnya pelayaran dengan menggunakan kapal-kapal kecil untuk mengangkut logistik ke Indonesia Timur. Keempat adalah terkait kinerja operasi dan pengembangan atau optimalisasi kapasitas dari infrastruktur pelabuhan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pasokan
Kelima adalah supply and demand yang tidak seimbang karena masih terpusat di Pulau Jawa. Dia menyebut masih banyaknya supply dari Jawa ke daerah-daerah, sementara saat akan kembali peti kemas dari daerah-daerah tersebut cenderung kosong.
“Kami berharap dengan merger Pelindo I, II, III, dan IV menjadi Pelindo, biaya logistik ini bisa dioptimalkan. Kami bisa melakukan efisiensi dalam beberapa strategi seperti standarisasi SDM, dan juga capex untuk berinvestasi," ujarnya
Siswanto mengungkapkan, efisiensi logistik pelabuhan dapat dimulai dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur biaya forwarder yang selama ini tidak terkontrol. Biaya itu diantaranya meliputi biaya pelayaran/pelabuhan, inventory, administrasi dan lain-lain yang semuanya diurus oleh forwarder.
"Instrumen biaya forwarder inilah yang seringkali memicu biaya logistik mahal. Karena tidak ada regulasi yang mengatur terkait jasa layanan yang diberikan oleh forwarder ini. Regulasi pemerintah dibutuhkan untuk menciptakan kepastian bagi pelaku usaha lainnya," ungkap Siswanto.
Selama ini, ia menambahkan, biaya di luar pelabuhan yang tidak terkendali juga memicu ongkos logistik menjadi tidak pasti. Siswanto lalu menunjuk biaya depo kontainer kosong yang tarifnya diserahkan kepada pelaku usaha.
"Sebenarnya persoalan inefisiensi di pelabuhan itu sudah banyak diketahui dan berlangsung bertahun-tahun. Masalahnya tidak ada upaya konkret untuk melakukan perubahan mengingat uang di pelabuhan seperti magnet bermadu yang bisa menarik semua orang untuk ikut menikmati dan melupakan masalahnya," tegas Siswanto
Advertisement