Sukses

Kisah-Kisah Entrepreneur Muda yang Mampu Bertahan dari Tekanan Pandemi

Tak mau menyerah dari tekanan pandemi, beberapa pengusaha muda terus bertarung untuk memasarkan produknya dengan berbagai ide kreatif.

Liputan6.com, Jakarta - Di balik riuh kegiatan mahasiswa dan mahasiswi salah satu universitas di Kota Bandung,  terselip sesosok perempuan yang tangguh. Mahasiswi semester 7 itu tak hanya disibukkan oleh urusan kuliah dan sidang proposal skripsi saja, tetapi juga urusan lain yaitu berbisnis.

Adalah Sausan Hanifah, perantau dari Bekasi ini tidak hanya sibuk dengan urusan kampus saja tetapi juga jagoan dalam mencari barang buruan ke salah satu pusat pakaian bekas di Bandung. Bisnis ini dikenal dengan nama populer Thrift. Bisnis ini menjual kembali barang bekas dari luar negeri atau impor. 

Sausan mengawali bisnis ini sejak Agustus 2018. “Awalnya karena suka beli barang-barang bekas di pasar Gedebage Bandung, karena harganya yang murah tapi kualitasnya bagus jadi tertarik untuk dijual kembali. Uniknya barang-barang bekas ini masing-masing hanya ada satu model jadi limited,” katanya saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (25/11/2021).

Barang yang diambil Sausan adalah pakaian. Namun bukan sembarang pakaian karena ia memilih model lawas dan tentunya merek yang terkenal. Alasannya, barang ini lebih mudah untuk dijual kembali karena memiliki pasar tersendiri dan margin yang didapat lumayan untuk kelas mahasiswa.

Berselang tiga tahun dari awal mula ia menjajaki bisnis, pemilik toko dagang Classy Junkies itu mengisahkan pengalamannya mendulang cuan di tanggal-tanggal kembar tiap bulannya. Tak terlepas pasca terkena dampak pandemi Covid-19.

“Tetapi akhir ini alhamdulillah daya beli masyarakat sudah mulai membaik dan meningkat. Diharapkan kedepannya bisa terus bangkit sehingga roda ekonomi juga bisa terus berputar,” katanya.

“Momen-momen semacam tanggal kembar di Shopee maupun awal bulan biasanya bisa meningkat 50 persen,” imbuhnya.

Sausan mengaku mampu meraup omzet kisaran Rp 6-10 juta dalam satu bulan hanya dengan berjualan pakai bekas yang didominasi pakaian wanita itu. Jaket dan sweater jadi barang dagangan paling banyak terjual selama ia menjajakan barang thrift.

Bukan tanpa hambatan, akun Instagram dagangannya, @classyjunkies beberapa kali sempat diretas oleh orang tak bertanggung jawab. Ia pun terpaksa merogoh kocek cukup dalam untuk bisa mengembalikan satu-satunya mata pencahariannya.

Itu jadi salah satu hambatan yang pernah ia lalui. Selama pandemi, ia pun merasa tekanan dengan drop-nya daya beli karena mayoritas mengedepankan kebutuhan pokok.

“Pas awal-awal tahun pandemi karena bingung mau belanja barang harus keluar kota sedangkan waktu itu gak bisa kemana-mana akhirnya cari supplier online dengan harga lebih tinggi. Alhamdulillah jualan terus cuma mungkin gak sebanyak sebelum pandemi, tapi sekarang udah mulai banyak lagi dan bisa jualan offline di bazaar-bazaar atau event,” ungkapnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Tantangan Serupa

Tantangan yang sama dirasakan salah satu pemilik brand fashion Analogi asal Bandung, Wildan Kamil. Ia pun mengisahkan terpukul karena pandemi. Lebih menyedihkan, ia bahkan hanya mampu menjual lima buah produk dalam satu bulan diawal karirnya. Kondisi itu berlanjut hingga tiga bulan pertama Analogi berdiri.

Bersama ketiga rekannya, ia berbagi tugas. Wildan mengemban amanah sebagai juru pemasaran atau marketing. Pengalaman kuliah di jurusan ilmu komunikasi jurnalistik jadi modal Wildan menjajakan barang dagangannya.

Tak mudah baginya untuk menjual barang dengan brand sendiri di tengah ketatnya persaingan banyak brand ternama. Namun berkecil hati bukan jadi pilihan yang diambil Wildan. Inovasi strategi marketing jadi jalan tengah yang ia ambil.

“Prinsip kita setiap hari itu pengiriman dan setiap tempat adalah pasar, tidak ada hari-hari spesial bagi kita, bahkan hari minggu kita tetap melakukan pengiriman supaya pertama untuk memberikan pelayanan terbaik,” katanya melalui sambungan telepon.

“kedua, perputaran uang terjadi secara cepat, jadi uang yang kita dapatkan dan kita alokasikan lagi ke produksi lagi baik ke gaji para karyawan atau maintenance memperbaiki beberapa alat produksi ataupun yang lainnya,” imbuh Wildan.

Menghadapi pandemi, Wildan mendorong kemampuan yang dimilikinya. Meski awalnya pun mengandalkan pasar online sebagai sarana jualan, ia menambah intensitas dagang online menghadapi dampak pandemi terhadap pasar fashion.

“80 persen saya fokuskan di online sebagai pasar moderen hari ini, 20 persen sisanya orang-orang yang ingin langsung ke tempat kita. Jadi 80 persen kita pasar online kita mulai usaha ini dari rumah,” katanya.

Tak hanya itu, mengantisipasi dampak pasca pandemi, ia dan timnya berencana mengembangkan sayap dengan tak hanya berfokus pada bidang fashion. Kini ia sedang meramu untuk mulai merambah sektor kuliner. Sektor ini, kata dia, memiliki prospek yang bagus kedepannya untuk mendulang cuan pasca pandemi.

“Tapi tidak akan keluar dari khittah genre utama kita pada aksesori fashion, kita akan lebih tingkatkan pada kebutuhan di dapur seperti celemek hingga lap, kita akan buat sektor sana supaya kebutuhan masyarakat lebih terpenuhi,” katanya.

Baik Sausan maupun Wildan sepakat, merombak strategi marketing jadi salah satu upaya untuk bangkit pasca terdampak pandemi. Sausan memilih memanfaatkan jejaring komunitas Thrift di kota asalnya untuk bersatu menjajakan dagangannya di acara-acara seperti bazaar. Keuntungannya adanya cakupan jejaring yang lebih luas dan berbagi strategi dalam penjualan.

Begitupun Wildan yang mulai merambah media sosial popular seperti Instagram dan Tik Tok untuk memasarkan produknya. Ia melakukan improvement dalam segi visual untuk lebih menarik calon pembeli. Jurus ini jadi andalannya untuk meraup lebih banyak calon pembeli dari banyaknya platform dagang.

3 dari 3 halaman

Perkembangan Ritel

Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira sepakat gelaran tanggal kembar mampu mendorong sektor ritel seperti fashion mampu mendorong tingkat penjualan di platform digital.

“Perubahan perilaku juga masih memungkingkan terjadi pada retail e-commerce. Event-event 11-11 itu cukup membantu sekali penjualan usaha retail di platform digital. Kemudian ada pengetatan mobilitas pada tahun baru, pasti efeknya masyarakat mencari alternatif belanja di rumah lewat online. Boom e-commerce tidak akan selesai dalam waktu dekat,” kata dia.

Namun, ia juga menaksir sektor ritel akan mengalami pertumbuhan terbatas di akhir tahun ini. Hal ini sebagai dampak pelonggaran aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah sejak Oktober 2021.

“Proyeksi penjualan ritel pada akhir tahun (November-Desember) diperkirakan mengalami kenaikan yang sangat terbatas. Setelah dilakukan pelonggaran PPKM pada Oktober 2021, masyarakat kembali lakukan pembelian barang diluar rumah,” kata dia.

Bhima mengacu pada peningkatan mobilitas sebesar 5 persen di atas baseline menurut data Google Mobility. Sementara pada data penjualan eceran di Oktober yang dirilis Bank Indonesia memperkirakan ada kenaikan 5,2 persen year-on-year yang konsisten dengan tren kenaikan mobilitas.

“Komponen yang paling cepat merespon pulihnya mobilitas adalah Suku Cadang Kendaraan bermotor, makanan minuman dan rokok, plus perlengkapan rumah tangga,” ujarnya.

Kendati begitu, beberapa jenis ritel lainnya diprediksi mengalami pertumbuhan yang tak merata. Misalnya, usaha ritel yang ada di pusat perbelanjaan yang masih belum terdorong oleh tingkat kunjungan ke mal pasca pelonggaran kegiatan.

“tetapi beberapa mal hanya terlihat ramai di awal bulan dan weekend. Itu pun tidak semua pengunjung melakukan pembelian, sebagian hanya cuci mata atau window shopping. Jadi tren penjualan ritel di mal masih belum pick up,” kata dia.

Kendati melihat ada pertumbuhan yang tidak merata tersebut, disambung kebijakan pemerintah yang menaikkan level PPKM dan penghapusan cuti bersama di akhir tahun menimbulkan kekhawatiran penurunan penjualan ritel konvensional.

“Konsekuensinya ritel konvensional terancam slowdown sampai akhir tahun. Yang mau rekrut karyawan baru jadi wait and see, kebijakan pemerintah ketidakpastian nya tinggi,” tutupnya.