Sukses

Memiliki Banyak Dampak Ekonomis, Konversi Kompor Gas ke Listrik Perlu Segera Diregulasi

Simulasi yang dilakukan Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan bahwa pemanfaatan kompor induksi sangat hemat, ramah lingkungan, dan aman digunakan.

Liputan6.com, Jakarta Konversi energi dari energi gas ke listrik, menjadi potensi yang besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain kalkulasi ekonomi yang bisa menghemat devisa hingga triliun-an rupiah per tahun, proses implementasinya juga dapat mencontoh konversi kompor minyak tanah ke kompor gas yang pernah dilakukan pemerintah beberapa tahun silam.

Simulasi yang dilakukan Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan bahwa pemanfaatan kompor induksi sangat hemat, ramah lingkungan, dan aman digunakan. Untuk memasak 10 liter air, kompor induksi berkapasitas 1.200 watt hanya membutuhkan biaya sebesar Rp 1.200. Sementara dengan menggunakan liquified petroleum gas (LPG) atau dikenal gas elpiji, memakan biaya Rp 6.000 dengan takaran yang sama. Memasak menggunakan kompor setrum juga bisa membuat masakan cepat matang.

Dampak ekonomis menjadi sangat luas karena konversi ini bisa mengurangi impor gas nasional yang tahun ini diproyeksikan mencapai 7,2 juta metrik ton, naik 16,3 persen dari realisasi tahun sebelumnya. Konversi menuju energi bersih ini juga bisa membantu memperbaiki neraca perdagangan yang terseok-seok akibat lonjakan impor gas.

“Bila kita bisa mengajak 19 juta rumah tangga menggunakan kompor induksi, akan menghemat devisa sebesar Rp 50,6 triliun per tahun,” kata Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Qatro Romandhi, dalam diskusi virtual Ngobrol@Tempo bertajuk ‘Percepatan Konversi Kompor Gas ke Kompor Induksi’, Senin, 29 November 2021.

Menurut Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril, selain bisa mengurangi current deficit account, penggunaan kompor induksi dapat mendorong peningkatan pemanfaatan energi listrik di Indonesia yang masih rendah, bahkan lebih rendah dibanding Vietnam.

“PLN sudah menyiapkan sejumlah insentif untuk implementasinya,” sambungnya.

Insentif yang yang dimaksud Bob, yakni diberikan ke perumahan-perumahan baru dengan memberi ekstra daya.

“Untuk pemasangan 2.200 watt kita kenakan biaya pemasangan daya 900 watt,” ujar Bob.

 

Langkah lain yang disiapkan PLN adalah memberikan insentif tambahan ke setiap rumah yang menggunakan kompor induksi.

“Itu kan teknologi digital yang bisa kita monitor,” kata Bob Syahril.

Selain itu, pihaknya juga akan memberikan perangkat kompor induksi kepada masyarakat yang biasa menggunakan elpiji bersubsidi 3 kg.

Bob sudah siap dengan langkah lanjutan, termasuk kerja sama dengan perguruan tinggi untuk mengkaji perubahan kultur dan kebiasaan memasak dengan kompor gas ke kompor listrik.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah payung hukumnya dan dukungan semua stakeholder, termasuk pemerintah daerah,” ujarnya.

Konversi kompor gas ke kompor induksi memperoleh dukungan dari Pertamina yang selama ini menyuplai elpiji kepada masyarakat. Menurutnya, program konversi tersebut perlu dikakukan secara matang karena industri elpiji melibatkan banyak pihak, mulai dari produksi tabung, selang, hingga regulator.

“Kami mendukung konversi tersebut. Memang sebaiknya kompor induksi menyasar market yang mampu daya listriknya mendukung kesana. Kami di elpiji tetap menyuplai market yang tidak ter-cover oleh kompor induksi,” jelas VP Downstream Research & Technology Innovation Pertamina, Andianto Hidayat. 

Tambah Andianto, pihaknya juga akan berkomunikasi bersama PLN dan meminta dukungan pemerintah agar proses konversi ini bisa berjalan dengan baik hingga diterima masyarakat. Ia menitikberatkan kebijakan konversi kompor minyak ke kompor gas pada 2007 lalu untuk dijadikan pijakan penting dalam penyusunan regulasi maupun kebijakan.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio sepakat dengan hitungan dan manfaat konversi kompor gas ke kompor induksi. Namun ia menggarisbawahi perlunya payung hukum yang kuat untuk mendukung dan memperluas pemanfaatan kompor induksi di tengah masyarakat.

Selain itu, ia juga menekankan perlunya pengawasan yang benar-benar ketat agar tidak ada sekelompok orang yang memanfaatkan kebijakan ini hingga akhirnya berdampak buruk bagi masyarakat maupun negara.

“Kita terbiasa membuat kebijakan, tetapi tidak bisa mengimplementasikannya,” tegasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan jajaran perusahaan pelat merah sektor energi, yakni PLN dan Pertamina. Dalam pertemuan tersebut, Presiden menyinggung soal neraca perdagangan yang anjlok akibat tingginya impor gas. Ia juga meminta kepada dua perusahaan negara tersebut mempersiapkan transisi menuju energi bersih.

“Kalau kita bisa mengalihkan itu (energi fosil) ke energi lain, misalnya mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga diganti listrik semuanya. Artinya supply dari PLN terserap, impor minyak di Pertamina jadi turun," katanya, Sabtu, 20 November 2021.

 

(*)