Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah BUMN memiliki utang menggunung. Kondisi pandemi Covid-19 ini memperparah utang dari perusahaan pelat merah tersebut. Akibat pandemi, sejumlah BUMN belum mampu bangkit dari tekanan utang.
Beberapa waktu lalu, PT Garuda Indonesia (Persero) disebut memiliki utang yang mengakibatkan maskapai nasional itu melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah penerbangan hingga armada. Langkah terbaru adalah negosiasi kepada lessor dan kreditor.
Paling baru, ada Angkasa Pura I yang mengaku memiliki utang sebesar Rp 28 triliun kepada kreditor dan investor. Ditambah beban kewajiban perusahaan senilai Rp 4,7 triliun.
Advertisement
Berikut ini sejumlah BUMN yang tercatat memiliki utang besar, dirangkum oleh Liputan6.com pada Rabu (8/12/2021):
PLN
PLN (Persero) disebutkan terlilit utang hingga mencapai Rp 500 triliun pada akhir 2019. Perusahaan pelat merah tersebut terbebani utang dalam jumlah super besar lantaran sibuk mencari pinjaman untuk membiayai proyek kelistrikan 35 ribu megawatt (MW).
Pada pertengahan tahun 2021, disebutka PLN juga berhasil menurunkan jumlah interest bearing debt atau rasio utang kena bunga menjadi sebesar Rp 452,4 triliun, turun dibandingkan 2019. Pencapaian ini ditopang aksi korporasi PLN berupa pelunasan pinjaman sebelum jatuh tempo sekitar Rp 30 triliun segera setelah diperoleh kompensasi.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo angkat bicara terkait strategi restrukturisasi utang perusahaan. Sejauh ini, ia menyebut pengelolaan utang telah dilakukan dengan baik.
Darmawan menyebutkan tingkat utang PLN telah turun sebesar Rp 50 triliun. Selanjutnya, utang yang telah jatuh tempo akan dilakukan refinancing.
"Utang yang dalam jatuh tempo akan kita lakukan refinancing. Investasi kedepannya (akan dilakukan) IRR (Internal Rate of Return) yang baik," katanya kepada wartawan, Senin (6/12/2021).
"Jadi lebih besar IRR daripada cost of fund. Kita efisiensi sehingga nanti kondisi keuangan PLN bisa lebih baik," imbuhnya.
Pria yang akrab disapa Darmo itu mengatakan saat ini pihaknya masih akan memetakan rencana tersebut, namun strategi yang akan diambil sudah jelas.
"Dalam meningkatkan financial reability harus dikelola dengan baik, revenue ditingkstkan dan cost diturunkan," katanya.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Garuda Indonesia
Maskapai nasional Garuda Indonesia tengah berada dalam kondisi kritis. Perseroan diketahui memiliki utang mencapai Rp 70 triliun atau sekitar USD 4,5 miliar dollar AS.
Restrukturisasi menjadi pilihan untuk menyelamatkan BUMN ini. Dalam kondisi sulit, seluruh karyawan Garuda Indonesia dinilai harus memiliki pola pikir mandiri yang kompetitif.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir membeberkan kondisi Garuda Indonesia yang merugi saat ini.
Hingga September 2021, diketahui maspakai plat merah tersebut terlilit utang hingga USD 9,78 miliar. Jika disetarakan dengan mata uang Rupiah, kata utang Garuda Indonesia mencapai sekitar Rp140 triliun.
Menteri Erick mengungkapkan, kerugian perusahaan penerbangan pelat merah ini akibat bisnis model yang salah urus. Di mana ini terus berlanjut berpuluh-puluh tahun hingga puncaknya meledak saat pandemi Covid-19 di awal 2020.
"Sejak awal Garuda bisnis modelnya sudah salah dan ini sudah berlanjut puluhan tahun," kata Menteri Erick dalam acara Kick Andy Double Check, Minggu (14/11) malam.
Menteri Erick mengatakan, selama ini Garuda terlalu dimanja karena memiliki domestik market yang sangat kuat. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh oknum di tubuh Garuda Indonesia, dengan pemikiran terbang atau membuka rute keluar negeri.
Pada akhirnya jumlah pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia kini beragam jenis. Dan di buatlah sekenario bahwa jika ingin terbang ke suatu negara harus menggunakan pesawat jenis A atau B. Dengan banyaknya jenis pesawat. Sehingga membuat sewaan pesawat Garuda paling banyak di dunia jumlahnya dalam satu airline industry.
"Pada akhirnya juga kita paling mahal sewa pesawat di Dunia 28 persen yang rata-rata dunia itu 6 persen daripada pos operasional," katanya.
Advertisement
Krakatau Steel
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk pasca restrukturisasi telah membayar utang perbankan sebesar Rp444,7 miliar.
Utang ini terdiri dari utang Tranche A hasil kesepakatan restrukturisasi utang Krakatau Steel sebesar Rp258 miliar dan cicilan utang kepada Commerzbank Rp186,7 miliar.
"Krakatau Steel sejak 2020 telah membayar cicilan pokok utang sebesar Rp444,7 miliar yang terdiri dari Rp108 miliar di tahun 2020 dan Rp336,7 miliar di tahun 2021. Pembayaran utang ini adalah komitmen Krakatau Steel kepada para kreditur untuk memenuhi kewajiban sekaligus sebagai bukti bahwa proses transformasi Krakatau Steel berjalan dengan sukses,” jelas Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim.
Restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh manajemen Krakatau Steel salah satunya adalah restrukturisasi utang untuk mengatasi beban utang Perseroan yang besar dan terus meningkat sejak tahun 2011.
BUMN yang memiliki bisnis di industri baja ini bersama 10 kreditur menandatangani perjanjian kredit restrukturisasi pada Januari 2020.
Krakatau Steel mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran dan menyelesaikan utang sebesar total Rp28,4 triliun sesuai dengan jadwal selama 8 (delapan) tahun melalui skema Tranche A, Tranche B, dan Tranche C.
PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
PTPN III selaku induk holding perkebunan perusahaan plat merah disebut-sebut memiliki utang hingga Rp 43 triliun.
Manajemen PT Perkebunan Nusantara atau PTPN III mengakui utang perseroan mencapai Rp45,3 triliun. Sumber utang berasal dari 23 bank sebesar Rp41,2 triliun dan sisanya dalam bentuk surat utang.
Namun, pada April 2021 lalu, manajemen telah menyepakati restrukturisasi keuangan sebesar Rp41 triliun. Jumlah itu berasal dari 50 kreditur baik dalam dan luar negeri.
Menteri BUMN Erick Thohir memastikan masalah yang terjadi di PTPN, khususnya persoalan utang yang berbau korupsi, merupakan bagian dari masa lalu. Saat ini, dipastikannya, PTPN lebih terbuka dalam menjalankan bisnisnya.
Erick Thohir melalui Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga mengatakan, PTPN sekarang jauh lebih baik. PTPN sudah melakukan banyak upaya agar kasus di masa lalu tidak terulang.
Advertisement
Waskita Karya
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II Kartika Wirjoatmodjo memaparkan penyebab utang besar PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang mencapai Rp 93,47 triliun pada 2019.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada Senin, (27/9/2021). Kartika menuturkan, Waskita Karya diharapkan membantu penyelesaian tol Trans Jawa dan Sumatera. Ada 16 ruas tol yang dikerjakan, yang sebagian besar diakuisisi dari swasta. Selain itu, ada juga tol baru yang ditenderkan.
"Waskita Karya pada 2015,2016,2017 agresif ambil tol swasta yang sudah ada dari BPJT, namun tidak berjalan optimal," kata dia.
Waskita Karya juga menggarap tugas melaksanakan transmisi Sumatra sehingga total pendanaan besar mencapai Rp 27,8 triliun. "Itu utang Waskita naik tajam puncak 2019 Rp 70,9 triliun, itu belum utang ke vendor," kata dia.
Total utang Rp 90 triliun antara lain Rp 70 triliun merupakan utang obligasi dan bank, serta Rp 20 triliun kepada vendor. Kartika menuturkan, perseroan pelan-pelan membereskan utang ke vendor. "1-2 tahun vendor mulai dibayar," kata dia.
Ia menambahkan, kasus COVID-19 yang terjadi mulai 2019-2020 pun berdampak terhadap kinerja keuangan Waskita Karya termasuk pendapatan konstruksi dan tol.
"Pendapatan Waskita drop dari konstruksi dan jalan tol yang sudah operasi karena operasi lalu lintas (turun-red). 2020 pendapatan tol dan konstruksi turun tajam membuat keuangan alami pemburukan signifikan. Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan merestrukturisasi, menyeluruh proyek strategis skala besar dan butuh dukungan," kata dia.
Angkasa Pura I
PT Angkasa Pura I (persero) atau AP I mencatatkan utang di angka Rp 32,7 triliun hingga September 2021. Utang Angkasa Pura I tersebut merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun.
Untuk diketahui, bisnis AP I sangat terdampak pandemi karena ketatnya aturan bepergian yang dikeluarkan untuk mencegah penularan virus Covid-19. Angkasa Pura I yang bergerak di sektor transportasi udara harus kehilangan banyak pendapatan.
Direktur Utama PT Angkasa Pura I Faik Fahmi merincikan, total utang Angkasa Pura I yang mencapai Rp 32,7 triliun ini merupakan kewajiban bayar perusahaan kepada kreditur dan investor yang nilainya mencapai Rp 28 triliun.
Sementara sebesar Rp 4,7 triliun adalah kewajiban dibayarkan kepada karyawan dan supplier.
"Perlu kami sampaikan di sini adalah sebenarnya kondisi angkasa pura I itu tidak seburuk dari yang diberitakan media selama ini. Sehingga total kewajiban kita sekitar Rp 32,7 triliun," kata Faik saat konferensi pers, Rabu (8/12/2021).
“Saya perlu tambahkan di sini, utang AP I tersebut tak kemana-mana tapi lari ke aset di AP I yang meningkat signifikan, di tahun 2017 nilai aset AP I sebesar Rp 24,7 triliun, di 2022 ini aset AP I meningkat sangat signifikan jadi Rp 47,3 triliun,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (8/12/2021).
“Jadi asetnya meningkat lebih dari Rp 23 triliun dalam periode 4-5 tahun,” katanya.
ia meyakinkan bahwa kondisi utang besar yang dialami perseroan tersebut bukan imbas dari masalah struktural. Tapi, perseroan belum bisa bangkit dengan beban utang ini karena terdampak pandemi.
“yang kita alami ini bukan masalah struktural, bukan karena utang besar, tapi dengan utang besar, AP I belum beranjak pulih akibat pandemi, ada potensi untuk meningkatkan lebih buruk lagi, bisa, jika tidak dilakukan penyehatan atau restrukturisasi,” tuturnya.
Advertisement