Sukses

China Gelontorkan Rp 2,6 Kuadriliun demi Jaga Ekonomi dari Kejatuhan Sektor Properti

Bank Rakyat China akan memotong rasio persyaratan cadangan untuk sebagian besar bank hingga setengah poin persentase, mulai 15 Desember 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah China merasa jika sudah waktunya untuk melonggarkan dompet dan memompa uang ke dalam perekonomian dalam upaya mencegah ancaman terhadap pemulihan ekonomi negaranya.

Kali dengan cara, Bank Rakyat China akan memotong rasio persyaratan cadangan untuk sebagian besar bank hingga setengah poin persentase, mulai 15 Desember 2021.

Langkah itu, yang mengurangi jumlah uang yang harus disimpan bank sebagai cadangan, akan dikeluarkan sekitar USD 188 miliar atau setara Rp 2,6 kuadriliun untuk pinjaman bisnis dan rumah tangga, seperti dikutip dari laman CNN Business, Kamis (9/12/2021). 

Keputusan - pemotongan kedua - datang pada hari yang sama ketika Politbiro China mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan mengambil tindakan yang lebih agresif untuk melindungi ekonomi pada tahun 2022.

Sementara Partai Komunis China, yang diketuai Presiden Xi Jinping, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya "memastikan stabilitas" akan menjadi prioritas utama di tahun mendatang.

"Dengan kata lain, para pemimpin sangat prihatin dengan risiko potensi ketidakstabilan," kata Larry Hu, kepala ekonomi China untuk Macquarie Group.

Beijing sangat berhati-hati dalam mengintervensi pemulihan ekonomi China selama pandemi COVID-19.

Hal itu belum termasuk pemotongan suku bunga pinjaman acuan negara tersebut sejak awal 2020, dan telah menahan diri untuk tidak membanjiri ekonomi dengan stimulus – alih-alih menawarkan dukungan yang lebih bertarget untuk bisnis kecil yang terdampak pandemi.

 

2 dari 2 halaman

China Bakal Perketat Peraturan Bisnis Swasta?

China juga menghadapi banyak tantangan menggapai pertumbuhan ekonomi pada 2021, termasuk kekurangan listrik, penundaan pengiriman dan krisis di real estat.

Para analis juga khawatir tentang dampak tindakan keras besar-besaran negara itu terhadap perusahaan teknologi dan perusahaan swasta lainnya.

Hu mencatat jika selama pertemuan Politbiro pada Desember 2020 lalu, kepemimpinan mengisyaratkan bahwa mereka akan memperketat peraturan tentang bisnis swasta – kebijakan yang menjadi perhatian untuk tahun 2022.

"Kali ini, rapat Politbiro menyarankan prioritas telah bergeser dari pengetatan regulasi menjadi mendukung pertumbuhan," tambahnya.

Krisis utang di sektor real estate mungkin menjadi salah satu masalah ekonomi paling besar bagi China.

Evergrande — salah satu pengembang terbesar dan paling berhutang di negara itu — telah tertatih-tatih di ambang default selama berbulan-bulan.

Pekan lalu, perusahaan tersebut memperingatkan mungkin tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kewajiban keuangannya - pengumuman yang menyebabkan saham anjlok 20 persen di Hong Kong pada Senin (6/12/2021).

Analis telah lama khawatir bahwa runtuhnya Evergrande dapat memiliki efek berat di seluruh sektor properti di China, yang menyumbang sebanyak 30 persen dari PDB.