Sukses

YLKI Minta Pemerintah Larang Penjualan Rokok Ketengan

YLKI mendorong agar pemerintah membuat kebijakan menjual rokok batangan atau ketengan.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendorong agar pemerintah membuat kebijakan menjual rokok batangan atau ketengan.

Cara ini dinilai akan membuat masyarakat kalangan tertentu, utamanya perokok anak atau remaja sulit mendapatkan akses terhadap rokok. Sebab saat ini, rokok bisa dibeli karena harganya masih terjangkau dengan uang saku anak-anak.

"Rokok di kita ini sangat murah dan aksesnya mudah, kenaikan tarif cukai akan efektif kalau di-backup dengan kebijakan pengendalian rokok," kata Tulus dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (14/12).

Dia menilai kenaikan tarif cukai 12 persen belum efektif. Alasannya dari sisi pemasaran produk masih menyisakan banyak masalah. Harga yang diatur Kementerian Keuangan hanya untuk rokok per bungkus isi 20 batang. Sementara tidak ada aturan untuk industri rokok untuk mengatur jumlah batang rokok per bungkus.

Akibatnya, tidak sedikit produsen yang memutar otak agar harga rokok per bungkus lebih murah dengan mengurangi jumlah batang rokok dalam satu kemasan. Celah yang dimanfaatkan ini membuat harga rokok yang dijual menjadi lebih terjangkau dari ketentuan yang dibuat pemerintah.

"Jadi di sisi retail masih murah, mana ada barang kena cukai yang harganya semurah permen. Hanya satu di dunia (ada di Indonesia)," kata dia.

Lebih lanjut dia mengatakan kenaikan tarif cukai hanya menjalankan mandat dari regulasi. Besaran kenaikan tarif cukai pun dinilai masih terbatas karena dalam Undang-Undang Cukai, pemerintah memiliki kesempatan untuk menaikkan tarif cukai rokok hingga 52 persen.

"Apa yang dilakukan pemerintah ini mandat regulasi, kalau tidak dilakukan nanti salah, makanya harus dieksekusi oleh Kementerian Keuangan berupa kenaikan tarif cukai (tembakau)," kata Tulus.

Menurut Tulus, kenaikan cukai yang dilakukan pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi ketimbang pengendalian konsumsi rokok. Tercermin dari kenaikan tarif rokok yang dihubungkan dengan potensi pendapatan pemerintah di tahun depan.

Mengingat pemasukan negara diperkirakan masih akan terganggu karena masih dalam momentum pemulihan ekonomi. Pendapatan pajak yang masih terbatas, membuat pemerintah memutar otak untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan di tahun depan.

"Pajak ini kan masih rendah dan dari sisi filosofi masih kurang pas. Cukai ini hanya efek samping atau pajak dosa. Padahal pengendalian konsumsi harus lebih menjadi fokus utama daripada potensi pendapatan negara," kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Struktur Tarif Cukai

Selain meningkatkan tarif cukai rokok, pemerintah juga melakukan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) dari 10 lapisan (layer) menjadi hanya 8.

Beberapa tarif cukai yang hanya selisih Rp 10 digabungkan, seperti Sigaret Kretek Mesin (SKM) II A dan SKM II B dilebur menjadi satu. Lalu ada Sigaret Putih Mesin (SPM) II A dan SPM II B yang juga dilebur menjadi satu.

Pertimbangan lainnya beberapa pabrikan memiliki produk yang berada di layer II A dan II B. Sehingga peleburan ini diharapkan bisa mengurangi potensi down trading dan mengurangi produksi.

Menanggapi hal tersebut, Tulus menilai seharusnya peleburan golongan rokok tersebut bisa dibuat lebih sederhana. Minimal menjadi 4 golongan agar harga jual rokok juga lebih tinggi dan efektif mengurangi jumlah perokok.

Paling tidak 4 layer agar efektif untuk perlindungan konsumen," kata dia.

Beragamnya penggolongan jenis rokok tersebut kata Tulus hanya menguntungkan bagi industri besar. Sementara pendapatan negara dari cukai masih belum optimal dan dari sisi konsumen tetap banyak dirugikan.

"Kenaikan cukai 12 persen ini masih belum efektif melindungi konsumen untuk tidak terjebak dalam candu terhadap rokok," kata Tulus.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com