Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan jika varian baru Covid-19 telah terdeteksi di Indonesia. Terdeteksinya kasus COVID-19 Omicron ini dinilai akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira melihat belum adanya kebijakan mobilitas yang ketat dengan kemunculan kasus COVID-19 Omicron.
Sementara risiko dari COVID-19 Omicron terhadap ekonomi Indonesia akan meningkat ketika pemerintah merespon dengan pengetatan pembatasan, konsumsi rumah tangga, dan investasi bisa terganggu.
Advertisement
"Pemulihan ekonomi akan dikoreksi ke bawah jika 1 bulan kedepan terjadi lonjakan kasus," kata Bhima, dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Jumat (17/12/2021).
Dia menilai jika hal yang harus jadi perhatian adalah soal belanja pemerintah, ada indikasi sebagian ditahan seperti tercermin dari realisasi PEN yang rendah.
"Belanja pemerintah growth nya tidak sekuat tahun lalu," ungkapnya.
Kemudian akses WNA dari negara yang berisiko penularan tinggi juga diperlukan sebagai langkah preventif, lanjutnya.
"Jika pertumbuhan ekonomi 6 persen nampaknya masih akan sulit ya, secara full year ekonomi berkisar 3-4 persen," ujar Bhima.
Â
Prediksi Capaian Pertumbuhan Ekonomi
Diakui jika ada pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen lebih di kuartal ke II. Namun setelah itu pertumbuhan ekonomi lebih rendah lagi karena konsumsi domestik dan belanja pemerintah belum bisa tumbuh solid.
Selain itu, momen Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 juga tidak akan setinggi pencapaian belanja masyarakat saat lebaran.
Bhima sebelumnya menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,5 persen masih bisa tercapai karena low base effect, dan bantuan dari sisi ekspor.
"Jadi hal itu sangat wajar, karena tahun lalu tidak terjadi boom commodity dan pembatasan sosial relatif lebih ketat," sebutnya.
Advertisement