Sukses

Harga LPG Nonsubsidi Naik, Pengamat: Pertamina Berhak Lakukan Penyesuaian

Langkah Pertamina menaikkan harga LPG nonsubsidi ini sebagai langkah bisnis biasa. Pasalnya penentuan harga LPG non subsidi mengacu pada biaya pokok produksi (BPP).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menaikkan harga LPG nonsubsidi mulai 25 Desember 2021 untuk ukuran 5,5 kg dan 12 kg. Langkah ini akan membuat penggunaan LPG subsidi 3 kg naik meski tidak signifikan.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menyampaikan, langkah menaikkan harga LPG sebagai langkah tepat. Namun, mengantisipasi adanya migrasi dari LPG nonsubsidi ke LPG subsidi, ia menyoroti ketersediaan di masyarakat.

Ia mengamini akan terjadi peralihan penggunaan LPG 12 kg dan 5,5 kg ke LPG subsidi 3kg. Namun porsi pergeserannya tidak akan signifikan.

“Tapi yang perlu dipastikan jangan sampai pasokan LPG subsidi ini timpang antar wilayah, ini akan pengaruhi daya beli masyarakat. Kalau pasokan ini terganggu, nanti terpaksa harus beli LPG nonsubsidi.” Katanya kepada Liputan6.com, Senin (27/12/2021).

“Kuncinya, kalau masalah di lapangan jaminan LPG subsidi ini harus proporsional antar wilayah,” imbuh Abra.

Ia menilai, langkah Pertamina menaikkan harga LPG nonsubsidi ini sebagai langkah bisnis biasa. Pasalnya penentuan harga LPG non subsidi mengacu pada biaya pokok produksi (BPP).

“Artinya tentu Pertamina Patra Niaga berhak melakukan penyesuaian, LPG nonsubsidi ini porsinya kecil, ini masyarakat masih terbantu dengan LPG subsidi,” katanya.

Perubahan harga ini menurunya tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi sosial masyarakat karena masih ada LPG bersubsidi. “yang realitanya (LPG Subsidi) dipakai oleh masyarakat mampu, itu yang menunjukkan kenaikan harga LPG nonsubsidi tak berpengaruh besar,” katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Momen Transisi Energi

Lebih lanjut, Abra menilai hal ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk peralihan ke energi yang lebih bersih. Misalnya disamping penggunaan kompor gas, masyarakat yang mampu akan melirik kompor listrik atau induksi.

“Yang paling penting disamping harga komoditas ini yang naik adalah segera dilakukan reformasi subsidi energi. LPG 3kg ini masih mekanismenya (subsidi) terbuka, saya pikir ini momentum subsidi harus lebih terarah,” katanya.

“Jadi momentum transisi energi juga, masyarakat non konsumen (subsidi) dia kan ketika menghadapi harga ini akan mulai beralih, yang penting juga pemerintah mesti menyediakan alternatif, mereka disodorkan energi lain,” imbuhnya.

Misalnya, dalam hal ini adalah kompor listrik atau kompor induksi yang digadang-gadang pemerintah memiliki biaya yang lebih murah.

“Alternatif energi, pemerintah punya mimpi untuk proyek gasifikasi batubara, proyek DME (Dimethyl Ether) saat ini dapat momentum untuk dipercepat, ini jadi semakin luas,” katanya.

Dengan demikian, ia menuturkan ada tiga hal yang bisa jadi alternatif yakni, DME, Jaringan Pipa Gas (Jargas) dan kompor tenaga listrik atau induksi.

“Saya pikir kenaikan harga LPG ini harus jadi momentum shifting perilaku masyarakat. Ujungnya bisa lepas dari impor LPG. Diketahui, Konsumsi LPG kita naik, tahun lalu aja, konsumsi 8,8 juta ton, dan tahun sebelumnya 7,7 juta ton,” terangnya.

“bahkan di 2024 diprediksi naik ke 11,9 juta ton, kalau pemerintah tak siapkan alternatif LPG ini, lama-lama kita akan bergantung dengan LPG. Apalagi harga yang meroket pasti akan bergantung ke impor,” tutupnya.

Reporter: Arief Rahman H