Sukses

Genjot EBT, Kemenperin Soroti Kualitas Produk Modul Surya Lokal

Indonesia tengah gencar mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Liputan6.com, Jakarta Indonesia tengah gencar mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Bahkan lewat pembangunan, pemerintah membuat sejumlah proyek penyedia listrik berbasis hijau dan berkelanjutan.

Disamping pembangunan yang terus dijalankan, Kementerian Perindustrian menyoroti tingkat penggunaan produk dalam negeri. Namun, produk asli Indonesia masih perlu ditingkatkan kualitasnya.

“Misalnya, produsen panel surya dalam negeri kita sudah tergabung dengan asosiasi, dan saat ini memiliki kapasitas produksi setara 650 MW peak," ungkap Direktur Industri Permesinan dan Alsintan, Direktorat Jenderal Ilmate, Kemenperin, Herman Supriyadi dalam webinar Ruang Energi, Rabu (29/12/2021).

"Namun spesifikasi modul surya buatan dalam negeri memang harus terus ditingkatkan agar mampu memenuhi perkembangan pembangunan PLTS saat ini,” kata dia.

Terutama, kata dia, untuk kebutuhan modul surya diatas 550 MW peak. Di sisi lain, kata Herman, tren pembangunan PLTS terapung sendiri membutuhkan modul surya yang berbeda dengan di darat. Meski, secara prinsip tetap sama, namun ada spesifikasi tertentu yang membedakan.

“Hal ini jadi tantangan bagi seluruh stakeholders yang terkait dengan industri PLTS,” kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Belum Penuhi Skala

Lebih lanjut, Herman mengatakan Ditjen Ilmate Kemenperin akan terus mendorong adanya industri selsurya di dalam negeri. Dengan harapan penyerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di proyek-peoyek pembangkit listrik EBT.

“Namun dengan kebutuhan saat ini, kita menyadari bahwa masih belum memenuhi skala pereknomian yang paling ekonomis, sehingga kita sadari bahwa masih ada keterbatasan terutama dari sisi kekuatan daya saing dari harga,” ungkapnya.

“Karena satuan produknya akan menjadi lebih besar ketika keekonomiannya belum sampai,” imbuh Herman.