Sukses

Gambaran Ekonomi Indonesia 2021 dalam Angka

Sepanjang 2021, sebenarnya kinerja ekonomi Indonesia sudah mencatatkan angka-angka yang positif.

Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2022 telah dimasuki. Banyak harapan baru yang dipanjatkan di tahun baru ini setelah mengalami gejolak yang sangat tinggi di 2021. Harapan tersebut termasuk ekonomi yang lebih baik. 

Sepanjang 2021, sebenarnya kinerja ekonomi Indonesia sudah mencatatkan angka-angka yang positif. Hal itu terlihat dari pelaksanaan APBN 2021 sesuai target, serta penerimaan pajak yang tumbuh cukup besar, serta instrumen lainnya yang mendukung ekonomi Indonesia pulih.

Berikut fakta-fakta ekonomi Indonesia dalam angka, yang dirangkum Liputan6.com, dari berbagai sumber, Rabu (5/1/2022):

1. Pendapatan Negara

Realisasi pendapatan negara hingga 31 Desember 2021 mampu tumbuh Rp2.003,1 triliun atau 114,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.743,6 triliun.

“Dengan asumsi yang mengalami deviasi ini, kita lihat APBN kita realisasinya yang sangat positif. Sampai dengan 31 Desember, pendapatan negara mencapai Rp2.003,1 triliun,” kata Menkeu dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2021, Senin (3/1/2022).

Capaian tersebut tumbuh 21,6 persen lebih tinggi dibandingkan APBN tahun 2020 yang sebesar Rp1.647,8 triliun.

“Ini adalah suatu recovery dan rebound yang sangat kuat. Tahun ini masih ada pandemi yang memukul dengan Delta dan Omicron, namun kita masih bisa tumbuh di 21,6 (persen),” kata Menkeu.

Bahkan, pendapatan negara tersebut telah melebihi target tahun 2019, saat Indonesia belum terpapar virus corona. Kala itu pendapatan negara hanya mencapai Rp 1.960 triliun.

Namun, pada tahun 2020 mengalami penurunan karena terdampak pandemi menjadi Rp 1.647 triliun. Mengalami kontraksi hingga 16 persen di terhadap capaian di tahun 2019.

Sehingga secara umum, pertumbuhan pendapatan negara di tahun 2021 mengalami peningkatan 21,6 persen. Padahal, kondisi Indonesia pertengahan tahun lalu dihantam varian delta dan ditutup dengan ancaman penyebaran kasus varian Omicron.

"Ini recovery dan reborn yang kuat di tengah masih ada pandemi delta dan omicron, tapi kita bisa tumbuh 21,6 persen," kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 8 halaman

2. Penerimaan Pajak

Perempuan yang biasa disapa Ani ini menjelaskan, Sumber-sumber APBN tersebut berasal dari penerimaan pajak negara yang sampai 25 Desember telah tembus 103,9 persen. Realisasinya di tahun 2021 mencapai Rp 1.277,5 triliun, lebih tinggi dari target pemerintah dalam APBN sebesar Rp 1.229,6 triliun.

“Jadi (penerimaan pajak) kita Rp47,9 triliun lebih tinggi dari target APBN,” ujar Menkeu.

Sementara, pendapatan pabean dan cukai di tahun 2021 terkumpul Rp 269 triliun. Capaian ini melebihi target pemerintah sebanyak Rp 54 triliun, atau terealisasi 125,1 persen. Pendapatan tersebut juga lebih tinggi dari capaian tahun lalu yang berhasil mengumpulkan Rp 213 triliun.

“Tahun lalu, (penerimaan) bea dan cukai mencapai Rp213 triliun dan relatif stabil, tapi tetap sedikit kontraktif, terutama untuk bea masuk dan keluarnya. Jadi kalau sekarang tumbuh 26,3 persen, itu adalah suatu recovery yang luar biasa,” kata Menkeu.

Disisi lain, pendapatan negara dari PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) juga melebihi dari target dalam APBN 2021. Realisasinya di tahun lalu mencapai Rp 452 triliun dari target Rp 298,2 triliun. Capain ini tumbuh 31,5 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp343,8 triliun, meskipun masih dalam tantangan yang sama.

"Realisasinya 151,6 persen dari PNBP dalam APBN. Ini lebih tinggi dari sebelum Covid," kata Menkeu.

 

3 dari 8 halaman

3. Belanja Negara

Menkeu mengatakan, belanja negara cukup kuat dan masih terjadi ekspansi, seiring pendapatan negara yang tumbuh positif. Realisasi sementara belanja negara tahun 2021 sebesar Rp2.786,8 triliun atau 101,3 persen di atas target APBN 2021 yang sebesar Rp2.750 triliun.

“Artinya kita belanja Rp36,7 triliun lebih tinggi dari APBN atau tumbuhnya 7,4 persen dibandingkan tahun lalu yang Rp2.595 triliun,” kata Menkeu dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Rabu (5/1/2022).

Realisasi belanja negara terus mengalami pertumbuhan sejak tahun 2020. Realisasi belanja negara tahun 2020 tumbuh 12,4 persen dari realisasi belanja negara tahun 2019 yang sebesar Rp2.309.3 triliun.

“Jadi belanja itu masih keep growing. Makanya kalau pendapatan negara tidak bisa mengejar, kita defisitnya bisa naik. Jadi kalau kita lihat, belanja kita tetap tumbuh tinggi,” ujar Menkeu.

Secara rinci, kata Menkeu, realisasi sementara belanja negara tahun 2021 terdiri dari belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp2.001 triliun atau 102,4 persen dari target APBN yang sebesar Rp1.954,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang tumbuh relatif stabil sebesar Rp785,7 triliun atau 98,8 persen dari target APBN Rp795,5 triliun.

Capaian tersebut menunjukkan, belanja pemerintah pusat tumbuh 9,2 persen lebih tinggi dari tahun lalu yang sebesar Rp1.833 triliun, meliputi belanja Kementerian atau Lembaga Rp1.189,1 triliun atau 115,2 persen dari target APBN Rp1.032 triliun dan belanja non Kementerian/Lembaga Rp812 triliun atau 88 persen dari target APBN yang sebesar Rp922,6 triliun. “Memang Pemerintah Pusat yang melakukan belanja untuk bisa meng-countercyclical gara-gara Covid yang memang selain untuk kebutuhan kesehatan, juga untuk di bidang sosial dan belanja-belanja lainnya. Jadi ini belanja K/L menjadi motor yang luar biasa banyak sekali,” jelas Menkeu.

Kedepannya, belanja negara akan terus dimaksimalkan untuk mendorong peran APBN dalam menjaga kesejahteraan masyarakat, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

 

4 dari 8 halaman

4. Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, inflasi Indonesia di tahun 2021 relatif terjaga di 1,87 persen, dibandingkan negara lain yang inflasinya sudah di atas 10 persen.

"Jadi, Indonesia inflasi relatif terjaga 1,87 persen. Secara domestik kita lihat berbagai komponennya cukup terjaga, tapi kita harus simak untuk tahun 2022 harus kita waspadai," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2021, Senin (3/1).

Menkeu menyebut, inflasi di berbagai negara sudah meningkat dan negara-negara tersebut bahkan udah melakukan pengaturan suku bunganya, terutama di negara emerging, misalnya Brazil inflasinya sudah diatas 10 persen.

Lanjut, Rusia inflasinya 8,4 persen, Meksiko 7,4 persen, Afrika selatan inflasinya 5,5 persen sudah menaikan 1 kali 25 bps, Inggris inflasinya diatas 5 persen, Korea selatan inflasinya mencapai 3,7 persen.

Eropa juga sama inflasinya sudah mendekati 5 persen, India inflasinya 4,9 persen, Jepang sudah ada kenaikan inflasi sebesar 0,6 persen. Namun, inflasi yang terjadi di Jepang itu merupakan sesuatu yang positif, pasalnya Jepang biasa menghadapi deflasi.

Namun, di antara negara tersebut yang perlu menjadi perhatian adalah inflasi dari Amerika serikat yang sudah mencapai 6,8 persen, sebelumnya masih di kisaran 6,1 persen dan itu merupakan inflasi terburuk dalam 30 tahun terakhir.

Sementara China inflasinya 2,3 persen, dimana per 20 Desember China menurunkan suku bunga 5 basis poin (bps) menjadi 3,8 persen.

"Ternyata di November (inflasi Amerika Serikat) naik lagi menjadi 6,8 persen, tahun depan diperkirakan akan ada kenaikan suku bunga di Amerika Serikat," ucapnya.

Sementara itu, laju Inflasi Harga Konsumen (IHK) mulai menunjukkan tren meningkat perlu diwaspadai transmisi imported inflation akibat tingginya tekanan harga global.

"Kalau kita lihat contributor core inflation terutama makanan, pendidikan, kesehatan relatif ada kenaikan, namun belum sampai menimbulkan, namun makanan kita waspadai," ucapnya.

 

5 dari 8 halaman

5. Rupiah

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui tidak semua asumsi dasar pertumbuhan ekonomi tahun 2021 dalam UU APBN 2021 tercapai. Sebagian besar meleset dari target pemerintah karena adanya penyebaran Covid-19 varian delta di pertengahan tahun lalu.

Nilai tukar rupiah yang juga masih dibawah asumsi APBN 2021 yakni Rp 14.312, padahal asumsinya Rp 14.600. Namun Sri Mulyani mengatakan nilai tukar rupiah masih lebih baik dari tahun 2020 yang rata-ratanya Rp 14.577.

Bahkan kini diawal tahun 2022, nilai tukar rupiah pada Rabu pagi (5/1/2022) terkoreksi. Pelemahan rupiah ini masih dibayangi rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat The Fed yang lebih cepat pada tahun ini.

Rupiah bergerak melemah 48 poin atau 0,34 persen ke posisi 14.361 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.313 per dolar AS.

"Nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah terhadap dolar AS hari ini karena pasar masih mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS tahun 2022 ini," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra seperti dikutip dari Antara, Rabu (5/1/2022).

Sebelumnya, lanjut Ariston, The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuannya pada Juni 2022,

Namun, perkembangan inflasi yang masih tinggi di AS mendorong pelaku pasar berekspektasi The Fed sudah akan mulai menaikkan suku bunga pada Maret 2022.

"Selain itu, dari dalam negeri, pasar juga masih mewaspadai perkembangan kasus COVID-19 terutama varian Omicron yang sudah mulai meningkat," ujar Ariston.

 

6 dari 8 halaman

6. Neraca Perdagangan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia kembali surplus sebesar USD 3,51 miliar atau Rp 327,14 triliun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyebut Indonesia telah 19 kali secara berturut-turut menikmati surplus dengan akumulasi sepanjang tahun 2021 mencapai USD 34,32 miliar.

"Nilai ekspor kumulatif merupakan nilai ekspor yang tertinggi paling tidak sejak tahun 2000”, kata Febrio dalam keterangannya, Kamis (16/12/2021).

Tren peningkatan ekspor terus berlanjut, didorong baik peningkatan harga komoditas utama maupun volume. Ekspor produk manufaktur dan pertambangan mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi.

Di sisi lain, impor juga menunjukkan tren yang meningkat, menandakan terus menguatnya aktivitas ekonomi nasional. Peningkatan impor bisa dilihat dari semua sektor, baik sektor migas maupun nonmigas serta berdasarkan penggunaannya, seperti barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan juga barang modal.

 

7 dari 8 halaman

7. Ekspor

Kinerja ekspor Indonesia secara kumulatif periode Januari-November 2021 mencapai USD 209,16 miliar. Angka ekspor ini meningkat 42,62 persen dibanding periode yang sama 2020.

“Kinerja ekspor Indonesia secara kumulatif periode Januari-November 2021, kalau saya bandingkan pada periode yang sama 2020. Total ekspor kita Januari-November 2021 ini tercatat USD 209,16 miliar, ini meningkat 42,62 persen,” jelas Kepala BPS Margo Yuwono, dalam konferensi pers, Rabu (15/12/2021).

Sedangkan khusus ekspor nonmigas Januari-November 2021 tercatat USD 197,98 miliar atau meningkat 42 persen dibandingkan 2020 untuk periode yang sama. Sehingga kinerja ekspor Indonesia cukup bagus sepanjang 2021.

Jika dilihat kontribusi terbesarnya secara kumulatif masih berasal dari lemak dan minyak hewan atau nabati sebesar USD 29,86 persen atau dengan porsi 15,08 persen, dan bahan bakar mineral USD 29,59 miliar dengan porsi 14,94 persen.

Pertumbuhan ekspor tertinggi terjadi di sektor tambang dan lainnya periode Januari-November 2021 Capai USD 34,12 miliar atau tumbuhnya 94,28 persen. Ekspor industri pengolahan sebesar USD 160,02 miliar atau tumbuh 35,42 persen.

 

8 dari 8 halaman

8. Impor

Dikutip dari bps.go.id, tercatat nilai impor Indonesia November 2021 mencapai USD19,33 miliar, naik 18,62 persen dibandingkan Oktober 2021 atau naik 52,62 persen dibandingkan November 2020.

Untuk impor migas November 2021 senilai USD3,03 miliar, naik 59,37 persen dibandingkan Oktober 2021 atau naik 178,79 persen dibandingkan November 2020.

Impor nonmigas November 2021 senilai USD16,30 miliar, naik 13,25 persen dibandingkan Oktober 2021 atau naik 40,79 persen dibandingkan November 2020.

Sehingga peningkatan impor golongan barang nonmigas terbesar November 2021 dibandingkan Oktober 2021 adalah mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya USD 425,5 juta (25,61 persen). Sedangkan penurunan terbesar adalah serealia USD 127,9 juta (26,78 persen).

Adapun tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–November 2021 adalah Tiongkok USD 49,50 miliar (32,42 persen), Jepang USD 13,27 miliar (8,69 persen), dan Thailand USD 8,20 miliar (5,37 persen). Impor nonmigas dari ASEAN USD 26,36 miliar (17,27 persen) dan Uni Eropa USD 9,65 miliar (6,32 persen).

Sementara, menurut golongan penggunaan barang, nilai impor Januari–November 2021 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya terjadi peningkatan pada barang konsumsi US$4.752,5 juta (36,73 persen), bahan baku/penolong USD 38.737,9 juta (41,65 persen), dan barang modal USD 4.217,0 juta (19,92 persen).