Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) sempat mengalami krisis pasokan batu bara di akhir 2021. Hal ini yang melandasi pemerintah melarang ekspor batu bara pada 1 hingga 31 Januari 2022.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah melarang ekspor batu bara harus mendapat apresiasi. Alasannya, jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terlambat maka akan terjadi pemadaman listrik (black out) di beberapa wilayah.
PLN memiliki hari operasi selama 20 hari. Di mana perusahaan listrik negara itu harus punya cadangan minimal 20 hari untuk pembangkit listrik. Namun berdasarkan data yang didapat Mamit, rata-rata cadangan batu bara PLN hanya cukup untuk tiga sampai lima hari saja.
Advertisement
"Makanya 5 Januari itu kalau tidak ada pelarangan sebetulnya hari ini sudah mengalami blackout," kata Mamit saat dihubungi merdeka.com, Rabu (5/1/2021).
Mamit melihat larangan ekspor ini akan bersifat sementara. Karena ini akan dievaluasi dan ditinjau kembali berdasarkan realisasi pasokan batubara untuk PLTU Grup PLN dan semua IPP.
Ketika seluruh kebutuhan pasokan PLN terpenuhi, maka izin larangan tersebut dicabut. Dengan demikian, pengusaha bisa kembali lakukan ekspor batu bara.
Baca Juga
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
DMO
Namun pemenuhan ini juga sangat bergantung dari kecepatan pemasok batu bara ke PLN. Para pemasok juga harus komitmen untuk memberikan 25 persen produksi emas hitam mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), termasuk ke PLN.
"Kalau memang sudah terpenuhi dan yakin pasokan tidak terganggu, masing-masing pihak sudah sepakat harusnya kan ini bisa dibuka kembali. Karena saya kira pemerintah juga tidak mau mematikan pengusaha juga secara berlama-lama, tetapi kewajiban pengusaha untuk DMO tersebut adalah hal yang utama," pungkas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement