Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji kenaikan tarif bagi Kereta Rel Listrik (KRL) yang akan diterapkan pada April 2022. Merespons hal itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyoroti sejumlah hal yang tak boleh luput dari perhatian.
Diketahui, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan akan menaikkan tarif KRL menjadi Rp 5.000 untuk 25 kilometer pertama. Sedangkan 10 kilometer selanjutnya akan dikenakan penambahan Rp 1000. Jika dihitung, kenaikan akan terjadi sebesar Rp 2.000 dari harga yang berlaku saat ini.
Baca Juga
Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menilai perlu ada penyesuaian pelayanan dari operator yang bisa dinikmati oleh konsumen. Sehingga hal ini bisa memuluskan penerimaan konsumen terhadap kenaikan harga.
Advertisement
“Kalau dari pandangan konsumen kenaikan itu sesuatu yang bisa dipahami ketiga ada penyesuaian terhadap layanan, apakah PT KCI dalam hal ini sebagai operator juga meningkatkan standar pelayanannya,” katanya dalam sambungan telepon dengan Liputan6.com, Kamis (13/1/2022).
“Ini yang harus disampaikan kepada publik bahwa standar pelayanan yang kemarin itu di-upgrade, sehingga ada standar yang lebih tinggi untuk dipenuhi,” imbuh Agus.
Kemudian, ia mempertimbangkan terkait kenaikan tarif ini apakah hanya terjadi di wilayah Jabodetabek atau tidak. Pasalnya, KRL juga diketahui telah beroperasi di wilayah DAOP 6 rute Yogyakarta-Solo.
“Jika kenaikan tarif juga tak hanya di Jabodetabek apa survei mencakup wilayah tersebut? Karena kalau di semua daop terjadi kenaikan, ini harus dilihat di wilayah lain. Upah minimum provinsinya itu berbeda antara Daop 6 dan Jakarta,” katanya.
Diketahui, kenaikan tarif sendiri mengacu salah satunya pada survei yang telah dilakukan kepada pengguna KRL di Jabodetabek. Yang jadi salah satu variabelnya adalah tingkat kemampuan membayar ongkos KRL per orang dan tingkat keinginan membayar per orang.
“Kalau Jabodetabek prosentasi untuk pengeluaran transportasi tak akan berpengaruh signifikan. Tapi di daop lain akan berbeda. Idealnya pengeluaran itu tak boleh lebih lebih dari 15 persen. ini harus dikunci di angka tersebut, ada yang bilang tak boleh lebih dari 10 persen ini harus dilihat lebih jauh,” tuturnya.
Sementara itu, kalau dilihat secara adil, kata Agus, di KRL sendiri telah ada peningkatan infrastruktur, di beberapa stasiun di Jabodetabek telah ada perbaikan sehingga membawa kenyamanan bagi konsumen.
“Jadi hal ini perlu dipahami, baik oleh operator maupun konsumennya, ada peningkatan,” kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tarif KRL Naik
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian tengah mengkaji usulan kenaikan tarif KRL Commuter Line pada April 2022.
Rencananya, ongkos KRL akan naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000 untuk 25 km pertama. Sedangkan 10 km selanjutnya bakal dikenakan penambahanan biaya Rp 1.000.
Kasubdit Penataan dan Pengembangan Jaringan Direktorat Lalu Lintas dan L Kereta Api Ditjen Perkeretaapian Kemenhub Arif Anwar mengatakan, rekomendasi usulan kenaikan tarif merupakan hasil kajian kemampuan membayar (ability to payment) dan kesediaan pengguna untuk membayar (willingness to pay) kereta api perkotaan.
"Nah ini dari hasil survei tadi ini masih ada tahap diskusi juga. Kita akan usulkan penyesuaian tarif KRL kurang lebih Rp 2.000 pada 25 km pertama. Jadi kalau yang semula sebesar Rp 3.000 untuk 25 km ini jadi Rp 5.000," terangnya, Rabu (12/1/2022).
Advertisement
Kemampuan Bayar
Dari survei yang dilakukan di lingkup Jabodetabek, rata-rata kemampuan membayar masyarakat sebesar Rp 8.486 untuk ongkos KRL. Sementara kesediaan membayar masyarakat pada moda Commuter Line sebesar Rp 4.625.
Total responden yang berasal dari semua lintas KRL seperti Bogor, Bekasi, Serpong dan Tanggerang sebanyak 6.841 orang. Terdiri dari responden pria 51 persen (3.577 orang) dan wanita sebesar 49 persen (3.364 orang).
Sedangkan komposisi responden adalah pekerja sebesar 53 persen, produktif lain (sektor informal) 23 persen, serta pengguna untuk wisata dan rekreasi sebanyak 8 persen, dan 18 persen untuk keperluan lain.