Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menilai, kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) bakal menumpahkan air dingin ke proses pemulihan ekonomi yang masih lemah di negara-negara tertentu.
Georgieva mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed dapat memiliki implikasi signifikan bagi negara-negara dengan tingkat utang dalam mata uang dolar AS yang lebih tinggi.
Oleh karenanya, ia meminta The Fed agar bisa mengkomunikasikan kebijakan tersebut secara jelas guna menghindari shock. Sebab, suku bunga AS yang lebih tinggi dapat membuat negara-negara harus membayar lebih utang berdenominasi dolar AS mereka.
Advertisement
"Bertindak sekarang. Jika Anda dapat memperpanjang jatuh tempo, silakan lakukan. Jika Anda memiliki ketidakcocokan mata uang, sekaranglah saatnya untuk mengatasinya," imbuh Georgieva dikutip dari CNBC, Sabtu (22/1/2022).
Adapun kekhawatiran utamanya untuk negara berpenghasilan rendah dengan tingkat utang tinggi, 2/3 diantaranya akan berada dalam kesulitan utang, atau bahkan jatuh ke lubang yang lebih dalam.
IMF memperkirakan pemulihan ekonomi global akan berlanjut. Namun, itu bisa saja kehilangan momentum. Oleh karenanya, ia menyarankan agar pihak berwenang bisa lebih fleksibel dalam menyusun kebijakan
"Kita harus memetakan tantangan pada 2022 ini. Seperti kenaikan inflasi, pandemi Covid-19, dan tingkat utang yang tinggi. IMF telah memperingatkan, utang global mencapai USD 226 triliun pada 2020, atau jadi kenaikan satu tahun terbesar sejak Perang Dunia II," paparnya.
Baca Juga
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Inflasi
Berkenaan dengan inflasi, Georgieva mengkerucutkan masalah pada masing-masing negara. Antara lain, harga naik dengan kecepatan yang mengejutkan di sejumlah negara, inflasi zona euro mencapai rekor tertinggi 5 persen pada Desember 2021, tingkat inflasi Inggris mencapai level tertinggi 30 tahun di bulan yang sama, dan indeks harga konsumen AS naik pada kecepatan tercepat sejak Juni 1982.
"Kondisi itu lah yang membuat 2022 pada kasus tertentu bahkan lebih sulit daripada 2020," kata Georgieva.
"Pada tahun 2020, kami memiliki kebijakan serupa di mana-mana karena kami melawan masalah yang sama, ekonomi terhenti. Pada 2022, kondisi di negara-negara sangat berbeda, jadi kami tidak bisa lagi memiliki kebijakan yang sama di mana-mana, itu harus spesifik negara dan itu membuat pekerjaan kami di 2022 jauh lebih rumit," serunya.
Advertisement