Liputan6.com, Jakarta - Fenomena penipuan berkedok flexing saat ini banyak terjadi di masyarakat. Banyak influencer yang mengajak para pengikutnya untuk ikut investasi sambil pamer harta kekayaan.
Fenomena flexing ini membuat Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, angkat bicara.
Rhenald menjelaskan, flexing diartikan bagi mereka yang doyan pamer harta sebenarnya bukan orang kaya yang sesungguhnya. Flexing biasanya digunakan untuk alat marketing menggaet investor yang berujung penipuan.
Advertisement
“Oleh karena itu sering kali kalau anda mau investasi harus dilakukan bertahap sedikit-sedikit, karena para penipu sangat pandai mempengaruhi orang lain. Dan penipuan ini marak di masa pandemi karena kita banyak waktu di rumah,” ujarnya.
Selama pandemi orang yang banyak kehilangan pekerjaan, atau yang tidak bisa bekerja harus bisa mencari alternatif. Alternatifnya itu di depan komputer dan melihat menarik mendapatkan uang banyak.
Momen tersebut digunakan penipu berkedok flexing untuk meraup keuntungan dalam ranah investasi. Reynaldi, berpesan sangat penting mengenali betul dalam jangka panjang terkait investasi.
“Pada dasarnya (investasi) adalah strategi longterm bukan short term. Harus bersifat win-win bukan win lose,” ujarnya.
Kalau mereka yang menawarkan investasi memiliki kecenderungan penipuan, tentu mereka juga menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu. Tidak semua orang melakukan flexing itu adalah tetapi ada kecenderungan demikian.
“Jadi dalam jangka pendek warna percaya sekali karena mereka berpikir kalau dia bisa saya pun juga bisa. inilah yang jadi masalah,” tegasnya.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ciri-Ciri
Berikut ciri-ciri mengenali flexing, khususnya orang-orang yang tidak bisa dipercaya:
Pertama, omongannya selalu terkait harta dan uang. Mereka selalu menyatakan sangat mudah untuk mendapatkan uang dalam waktu cepat.
“Be careful, tidak ada yang mudah tidak ada yang murah, tidak proses yang begitu cepat. Dan kalau orang bicaranya uang uang, uang, uang di kepalanya dia hanya uang,” ujarnya.
Kedua, pelaku akan menggunakan cara-cara yang bisa membuat Anda percaya agar mau bergabung investasi. Misalnya, menggunakan agama.
Ketiga, mereka biasanya tidak mempunyai empati. Kalau mereka dalam situasi seperti pandemi ini banyak orang yang susah. Tetapi mereka malah pamer harta kekayaan, bahwa gampang dan bisa cepat dapatkan uang.
“Ditengah-tengah seperti kelihatan siapa yang punya empati dan tidak,”imbuhnya.
Keempat, mereka bermuka dua. Misalnya, saat melakukan pemasaran, pelaku akan mengatakan hal-hal yang indah-indah saja, seperti produk yang ditawarkan sangat mudah dipelajari, cepat mendapatkan uang dan sebagainya.
“Mereka manis sekali dan mengatakan kalau saya bisa juga bisa, pasti bisa jadi kayak seperti saya seperti itu yang dijanjikan. Tapi kemudian orang lain rugi mereka tidak berempati tapi mengata-ngatai, mereka ini adalah karakter orang-orang yang kurang bisa dipercaya,” jelasnya.
Advertisement
Penampilan Menawan
Kelima, mereka sangat menawan, penampilan mereka bagus dan menggunakan barang-barang branded untuk menunjukkan bahwa mereka berhasil berkat produk investasi yang dia tawarkan.
“Sehingga fokus orang adalah bukan kepada produk yang ditawarkan pada pakaiannya, pada benda-benda yang dia pakai branded dan menjadikan diri mereka,” katanya.
Keenam, mereka menunjukkan narsistik. Yaitu mereka kagum dengan dirinya sendiri dan kagum dengan kekayaannya. Mereka senang disebut-sebut sebagai orang yang paling kaya dan lain sebagainya.
“Jadi ini adalah dalam flexing yang kita ketahui Jangan mudah tergiur jangan terlalu percaya. memang flexing ini adalah sebuah signal kepada pasar alat marketing, tetapi kita sebagai pembeli harus waspada. Terutama anda yang ingin serba cepat tetapi ketika menyangkut risiko saya kasih tahu kepada anda produk itu ada macam-macam resiko nya tidak sama satu sama lain,” pungkas Rhenald.