Sukses

Pengamat Bongkar Biang Kerok Mahalnya Harga Minyak Goreng

Perngamat menduga kesalahan peta jalan biodiesel indonesia menjadi penyebab harga minyak goreng mahal.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga kesalahan peta jalan biodiesel indonesia menjadi penyebab harga minyak goreng mahal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sejumlah pihak yang menyebut tingginya harga minyak goreng disebabkan harga bahan baku yang meningkat.

Yusri mengatakan, dugaannya itu diperkuat pasca pertemuan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dengan Komisi VI DPR RI pada akhir pekan lalu.

“(Mendag Lutfi) mengakui bahwa harga minyak goreng yang tak wajar saat ini akibat ulah Pemerintah sendiri yaitu menjalankan program B30,” katanya dalam keterangannya, Rabu (2/2/2022).

“Padahal, sebelumnya pada 23 Desember 2019 , Presiden Jokowi pada program pencanangan B30 di SPBU Pertamina Mt Haryono Jakarta  menegaskan " tadi saya sudah perintahkan Menteri dan Dirut Pertamina untuk tahun depan kita masuk ke B40 dan B50 pada awal tahun 2021",” kata dia.

Ia menilai desakan penggunaan Ester Metil Asam Lemak (FAME) dari B20 ke B30 dan segera realisasikan menjadi B50 saat itu terkesan kental lebih ingin menyelamatkan industri sawit. Ia menyebut saat itu industri ini terseok seok akibat diboikot oleh Uni Eropa.

Namun, ia menilai pemerintah lebih memilih llangkah itu ketimbang pengembangan program biodiesel yang benar.

“Karena, tidak ada satupun negara didunia ini melakukan program biodiesel menggunakan FAME lebih dari 10 persen, selain ada faktor keekonomian, penggunaan FAME melebihi 10 persen berpotensi terjadi kendala tehnis, menyebabkan konsumen sering mengganti filter solar dan pada suhu rendah bisa terjadi pembekuan,” tuturnya.

Ia melanjutkan, sejak tahun 2015 hingga, tak kurang Rp 100 triliun dari pungutan eksport sawit oleh BPDPKS telah digelontorkan kepada produsen FAME. Tujuannya untuk menjaga harga biosolar (B30) ekonomis di SPBU Pertamina.

“Seharusnya Pertamina mengembangkan program biodiesel hingga B100 bukan menggunakan FAME yang berasal dari bahan baku CPO, banyak tehnologi bisa mengolah bahan baku tak berharga menjadi green diesel standar Euro 5,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

B100 Non Subsidi

Lebih lanjut, Yusri menyebutkan, Pertamina hanya membeli FAME untuk B100 Non subsidi yang bersumber dari minyak goreng bekas, CPO asam tinggi, minyak rumput laut, hingga lemak sapi.

Sehingga, kata dia, pemilik pabrik biodiesel bisa melakukan peningkatan atau upgrade pabriknya supaya bisa mengolah macam macam minyak. Maka, dengan asumsi begitu, secara otomatis akan tumbuh UMKM untuk melakukan pengumpulan minyak goreng bekas tukar tambah dengan minyak goreng baru dan emak emak akan dapat tambahan pendapatan.

“Lingkungan hidup akan terjaga dari pencemaran minyak jelantah. Sehingga BUMDES, UKM, pemilik tambak dan nelayan akan menanam rumput laut untuk di press jadi minyak bahan baku FAME atau B100 (seperti Neste oil),” katanya.

Ia menilai, jika melihat negara tetangga, Singapura tak punya bahan baku biodiesel sudah bisamem bangun industri biodisel sejak tahun 2010. “Dengan kapasitas produksi 800.000 ton pertahun menggunakan bahan baku lemak sapi di import dari Australia, mengapa kita harus selalu kalah?,” tutupnya.