Sukses

Ekonom: Intervensi Ekonomi Pemerintah Sering Kontraproduktif

Intervensi yang dilakukan Pemerintah dengan menghentikan ekspor batu bara selama sebulan, menyebabkan disparitas harga di pasar global dan dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita, menilai, intervensi yang dilakukan Pemerintah dengan menghentikan ekspor batu bara selama sebulan, menyebabkan disparitas harga di pasar global dan dalam negeri.

Dia menjelaskan, saat intervensi pada pasar komoditas batu bara untuk menjaga pasokan batu bara PLN. Pemerintah berhasil menghentikan ekspor batu bara selama 1 bulan, walau mengundang keluhan dari China.

Disparitas harga terjadi karena adanya perbedaan harga yang sangat signifikan atas suatu harga komoditas bahan pokok tertentu.

Menurutnya, intervensi yang dilakukan pemerintah lumayan vulgar karena atas nama sebuah perusahaan negara, tanpa langkah lanjutan pembenahan tata kelola pertambangan batu bara, tata kelola kelistrikan nasional dan reformasi lebih lanjutan di PLN.

“Jika terjadi lagi disparitas harga antara pasar global dan harga yang dibayarkan PLN, apakah pemerintah akan main kayu lagi pada pasar batu bara? Sampai kapan?” ucapnya.

Sementara itu, Ronny juga beberapa kali memperhatikan dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah berusaha melakukan intervensi ekonomi di beberapa bidang, tapi justru tidak efektif dan di beberapa kesempatan justru kontraproduktif.

Misalnya, saat meminta harga tes PCR turun tahun lalu, pemerintah hanya mampu mendorong pelaku usaha tes PCR menurunkan harga Rp 25 ribu, dari Rp 300 ribu ke Rp 275 ribu yang bertahan sampai hari ini.

“Turunnya tidak signifikan, kurang dari 10 persen. Sementara beban yang ditanggung pengguna angkutan udara dari harga tes PCR lebih dari 10 persen harga tiketnya,” ujarnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Ekspor Nikel

Lalu, saat pemerintah meminta ekspor nikel mentah dihentikan dan dialihkan kepada perusahaan Smelter. Justru penambang-penambang lokal mengalami penurunan margin keuntungan, karena harga jual di pasar global tinggi sementara harga yang mampu dibayarkan perusahaan Smelter kurang kompetitif.

“Cilakanya, perusahaan smelternya bukan perusahaan dalam negeri, rerata perusahaan dari luar. Artinya, penikmat penambahan nilai komoditas nikel justru perusahaan luar yang mengekspornya ke negara asalnya, sementara penambang lokal, terutama dari masyarakat lokal, kehilangan insentif yang tidak dikompensasi oleh pemerintah,” pungkas Ronny.