Sukses

Selidiki Dugaan Kartel Minyak Goreng, KPPU Panggil 4 Perusahaan Besar

KPPU melihat adanya praktek oligopoli dalam minyak goreng, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai memanggil produsen minyak goreng skala besar mulai Jumat, 4 Februari 2022. Langkah pemanggilan ini untuk menindaklanjuti penyelidikan terkait dugaan kartel minyak goreng.

"Kita menemukan empat pemain besarnya. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut mulai besok oleh KPPU akan dipanggil terkait indikasi kartel," kata Ketua KPPU Ukay Karyadi, dikutip dari Antara, Kamis (3/2/2022).

Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel.

Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum bagi para pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga. Padahal seharusnya, mereka yang pabriknya terintegrasi secara vertikal dengan kebun sawit, mendapat pasokan dari kebunnya sendiri.

"Di hulunya mereka menguasai, di hilirnya mereka menguasai. Tapi, mereka tetap mengacu pada harga internasional. Hal ini karena mereka yakin, kalaupun harga minyak gorengnya dinaikkan, mereka akan tetap laku di pasaran karena permintaan terhadap minyak goreng ini cenderung elastis," ujar Ukay.

Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Kompak Naikkan Harga

Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak.

"Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp14.000 per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga mengubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.

Dengan demikian, Ukay mengatakan bahwa KPPU melihat adanya praktek oligopoli, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu.

"Tentunya intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industrinya menjadi kurang efektif, karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut," ujar Ukay.