Sukses

Sederet Dampak Kenaikan dan Simplifikasi Tarif Cukai Rokok

Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah dan terjangkau, salah satu yaitu rokok ilegal.

Liputan6.com, Jakarta Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, menilai kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2022 sebesar 12 persen dan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 192 tahun 2021, sangat eksesif sehingga akan semakin memperburuk kelangsungan sektor pertembakauan nasional.

Menurut legislator senior Partai Golkar itu, terdapat dua hal utama yang harus diwaspadai dari kenaikan cukai rokok ini.

Pertama, kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah dan terjangkau, salah satu adalah rokok ilegal.

“Kenaikan harga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal. Kenaikan peredaran rokok ilegal, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dapat berdampak terhadap keberlangsungan IHT,” kata Firman Soebagyo dikutip Sabtu (5/2/2022).

Kedua, kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam jangka panjang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT. Sebab, kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap kenaikan rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat berpotensi menggerus penerimaan negara.

Adanya penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer, menurut anggota Komisi IV DPR RI ini juga harus dipahami dengan perspektif kepentingan global. Keberadaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) salah satu agendanya adalah pengurangan pabrikan rokok kretek di Indonesia. Agenda tersebut, dalam pandangannya, sejalan dengan salah satu korporasi rokok internasional yang beroperasi di Indonesia.

Firman memproyeksikan, kelak kalau simplifikasi cukai rokok dibiarkan terus terjadi tidak tertutup kemungkinan pabrik atau perusahaan rokok yang tersisa di Indonesia hanya tinggal tiga bahkan hanya ada satu.

“Jadi, yang sebenarnya terjadi itu bukan simplifikasi tapi pengurangan atau penghilangan golongan rokok. Bahkan upaya mematikan industri rokok kretek di tanah air,” tegasnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Beratkan Industri Rokok

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mengatakan dampak kenaikan CHT dan simplifikasi sangat memberatkan IHT legal. Di saat pandemi Covid-19 melumpuhkan sendi-sendi ekonomi, pemerintah sudah menaikan cukai hasil tembakau 3 kali.

“Kenaikan cukai tahun 2020 belum dijalankan, kita sudah dihantam pandemi, produksi turun, daya beli turun, pemerintah tetap naikkan cukai sebesar 12,5 persen, lalu sekarang cukai dinaikan 12 persen. Dampaknya sangat besar pada penurunan produksi dan maraknya rokok illegal,” terang Sulami Bahar.

Sulami Bahar meragukan data rokok illegal yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kala itu, sebesar 4,8 persen. Menurut Sulami, kenyataan di lapangan mencapai 26,3 persen atau setara dengan kerugian negara sebesar Rp 53 triliun, sebagaimana hasil survei Indodata (2021).

Terkait simplifikasi dari 10 layer menjadi 8 layer, Sulami sejatinya keberatan dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, simplifikasi itu akan mematikan perusahaan rokok menengah dan kecil.

Selain itu, simplifikasi akan makin menegaskan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, Sulami Bahar mengusulkan agar pemerintah memberikan kepastian usaha bagi kepastian usaha industri hasil tembakau legal melalui roadmap.

“Bukan hanya roadmap industri secara besar atau secara keseluruhan, tetapi juga roadmap yang khusus mengatur kebijakan kenaikan cukai. Misalnya kenaikan cukai per 3 tahun. Sehingga pengusaha bisa membuat perencanaan,” katanya.

Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Ardi Praptono, berpendapat dampak kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 12 persen per 1 Januari 2022 yang perlu dikhawatirkan adalah IHT legal akan menurunkan harga pembelian bahan baku ke petani seiring tibanya waktu panen raya dan akan mengurangi volume serapan produk tembakau lokal.

“Hal itu mengingat hampir lebih dari 95 persen tembakau lokal menjadi bahan baku utama IHT, sehingga apabila mempengaruhi harga dan volume serapan, maka petani yang akan merasakan langsung dampaknya,” katanya.

Ardi Praptono mewanti-wanti ketika ada penurunan harga dan pembelian bahan baku tembakau, langkah yang harus dilakukan harus adanya win win solution antara IHT, petani dan stakeholders terkait lainnya.

“Di samping itu, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga mendorong terwujudnya kemitraan seluruh petani tembakau dengan IHT, untuk memberikan jaminan pasar dan harga,” pungkasnya.