Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan berbagai upaya dalam rangka mengendalikan lonjakan harga minyak goreng di pasaran. Salah satunya dengan menerapkan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter dan mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.
Namun, Pengamat Ekonomi Mohammad Revindo menilai kebijakan-kebijakan tersebut tidak tepat. Bahkan, akibat penerapan kebijakan ini membuat minyak goreng langka di pasaran.
Baca Juga
"Saya melihat bahwa penerapan harga minyak goreng di tingkat eceran sebesar Rp 14 ribu sejauh ini di banyak tempat tidak efektif, dan bahkan berakibat pada kelangkaan," kata dia kepada Liputan6.com di Jakarat, Senin (7/2/2022).
Advertisement
"Mengapa? Tentunya karena para pengecer memperoleh minyak goreng dengan harga yang lebih tinggi dari harga patokan tersebut. Tidak fair jika pengecer dipaksa menjual dengan harga tersebut atau dilakukan operasi pasar dengan harga tersebut," lanjut dia.
Selain itu, lemahnya kendali pemerintah juga dinilai membuat kisruh harga minyak goreng yang tak kunjung turun menjadi berkepanjangan. Berbagai alasan yang disampaikan Kemendag justru menambah ketidakpastian bagi masyarakat. Kebijakan menghilangkan minyak goreng curah serta kebijakan satu harga dengan memberikan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dimana harga minyak goreng dipatok Rp14 ribu per liter hanya menambah masalah saja.
“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat," ungkapnya.
Pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras melalui pengawasan yang ketat harus dilakukan.
"Harapan banyak pihak (bukan hanya saya) adalah Kemendag punya war room atau situation room dimana bisa dipantau secara real time stok dan pergerakan distribusi bahan pokok di berbagai daerah, termasuk produsen dan distributor yang memasok masing-masing daerah, dibandingkan dengan estimasi kebutuhan mingguan atau bulanannya," jelas Revi.
"Dengan cara ini lonjakan harga dan kelangkaan dapat diantisipasi, dan jikapun terjadi dapat diketahui siapa yang bertanggung jawab," tuturnya lagi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan Berubah-ubah
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Gde Sumarjaya Linggih menilai, perubahan kebijakan secara beruntun tidak hanya menyulitkan penerapannya di lapangan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerugian negara yang cukup signifikan.
“Bagaimana masyarakat tidak marah, sudah harga minyak goreng mahal, kebijakan berubah terus dan operasi pasar tidak berjalan dengan baik,” tukas Demer.
Demer menjelaskan bahwa blunder terbesar adalah kebijakan menghilangkan minyak goreng curah dipasaran dan memaksakan penjualan menggunakan kantong sederhana.
“Apa ini tidak dipikirkan secara benar dan matang? Minyak goreng curah adalah cara paling mudah mendistribusikan kepada masyarakat. Kalau produsen harus menggunakan proses packaging baru, kapan akan selesai masalah ini?,” jelasnya.
Kenaikan harga minyak goreng sejak tiga bulan lalu sebenarnya sudah di prediksi beberapa pihak karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah di pasar global terus meningkat dan selalu mencetak harga tertinggi sampai Februari ini.CPO merupakan bahan baku minyak goreng.
Bahkan dikatakan kenaikan harga CPO yang belum pernah terjadi sebelumnya disebabkan oleh situasi pandemi yang mengacaukan jumlah permintaan dan pasokan.
Perubahan iklim juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pasokan CPO. Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan kebijakan minyak goreng satu harga selama enam bulan karena harga CPO diperkirakan masih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
Advertisement