Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi VII DPR Lamhot Sinaga menilai kebijakan biofuel sama sekali tidak mengganggu persediaan bahan baku CPO untuk minyak goreng.
Menurutnya, penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter.
“Sudah ada jatah pembagian masing-masing dan tidak saling mengganggu,” katanya, Senin (7/2/2022).
Advertisement
Ia menjelaskan bahwa faktor utama terletak pada tingginya harga bahan baku sawit serta sinyalir adanya ketidakbecusan dalam hal distribusi.
“Operasi pasar tidak akan efektif kalau tidak diikuti oleh pengawasan distribusi yang ketat. Dan ini yang terjadi,” jelas Lamhot.
Lamhot pun menyayangkan pernyataan yang menyebut harga minyak goreng tinggi dan kelangkaan persediaan di masyarakat disalahkan pada program biodiesel yang dicanangkan pemerintah.
Berdasarkan tautan Kementerian ESDM, biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi.
Untuk saat ini, di Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari Minyak Sawit (CPO). Selain dari CPO, tanaman lain yang berpotensi untuk bahan baku biodiesel antara lain tanaman jarak, jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina, nyamplung dan lain-lain.
Tak Ganggu Minyak Goreng
Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Sekretaris Jendral GAPKI Eddy Martono. Ia menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri.
“Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelasnya.
Eddy juga membantah bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng, “Program B30 itu bersifat mandatory dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.
Advertisement