Sukses

Rhenald Kasali Soal Ibu Kota Negara Baru: Ini Adalah Masalah Perubahan

Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Prof. Rhenald Kasali membeberkan pandangan tentang pro dan kontra rencana pembangunan ibu kota negara baru.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali memberikan pandangan terkait rencana pembangunan Ibu Kota Negara Baru yang segera dimulai di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Dengan adanya ragam respons, mulai dari sambutan masyarakat hingga penolakan, bahkan adanya petisi penolakan pembangunan ibu kota negara baru, Rhenald Kasali melihat pemindahan Ibu Kota Negara merupakan terkait dengan isu perubahan. 

Ia menyebut, setiap perubahan selalu mengandung lima hal. Pertama, suatu perubahan belum tentu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. 

"Mereka yang mengatakan perubahan ini tidak baik barangkali juga ada benarnya. Tetapi saya ingin tegaskan lagi, pepatah ini belum lengkap. Setiap perubahan itu belum tentu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Tetapi tanpa perubahan, sudah pasti tidak akan ada pembaharuan," kata Rhenald Kasali, dalam sebuah video unggahan di laman Youtube-nya, dikutip Rabu (9/2/2022).

"Jadi memang ada risiko-risiko yang harus diukur oleh setiap pemimpin," ujarnya.

Kedua, Rhenald mengutip quote dari Albert Einstein yang mengatakan bahwa banyak sekali orang-orang yang mengharapkan hidupnya (negaranya) berubah tetapi selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang.

"Jadi baiknya kita jangan berpikir seperti itu, menginginkan terjadinya pembaharuan, ingin hasil yang lebih baik, tetapi kita selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang," pungkas Rhenald.

"Sudah wajar pemimpin yang hebat itu adalah pemimpin yang melakukan perubahan," imbuhnya.

Dilanjutkannya, pemimpin merupakan seseorang yang mengambil risiko, terutama pada tahapan eksekusi.

"Sebab ketika wacana diumumkan, izin diminta, kemudian sampai pada tahapan membentuk undang-undang, semua orang mudah bertepuk tangan, semua senang, wacana itu mudah diucapkan, dan kita lihat banyak sekali orang yang mengajukan usulan-usulan dan pemikiran-pemikiran," jelas Rhenald.

"Tetapi yang babak belur itu adalah yang menjalankannya, karena ketika itu dieksekusi pasti akan ada hal-hal yang dilapangan harus beradaptasi, menghadapi kesulitan, penolakan, dan lain sebagainya. Jadi sekali lagi, kita mengharapkan hasil yang berbeda. Tetapi kita memiliki kecenderungan untuk selalu berpikir pada hal yang sama berulang-ulang," tambahnya.

2 dari 2 halaman

Ragam Pola Pikir dari Setiap Perubahan

Hal ketiga adalah ketika berbicara mengenai perubahan, maka kita bertemu dengan manusia yang berbeda-beda.

Rhenald menjelaskan, ada manusia yang pola berpikirnya constrain-based, dan yang berpikir oportunity-based. Yang membedakan disini adalah berpikirnya ada yang birokratif, dan ada yang berpikirnya seperti entrepreuner. 

"Orang yang berpikirnya (seperti) entrepreuner itu tidak pernah mau terbatas oleh constrain. Dia akan selalu melihat cara jalan keluar. Sedangkan orang-orang yang berpikir birokratif akan mengatakan 'tidak bisa pak, selama anggarannya belum ada, saya tidak bisa bekerja' karena tugas seorang birokrat adalah menghabiskan anggaran, jadi diadakan dulu anggarannya baru bisa di-spending," paparnya.

"Betul dalam situasi seperti ini kita harus mengeluarkan uang. Tapi selama pandemi kita telah melakukan sesuatu yang disebut helicopter money. Yaitu ketika kita dikeluarkan, dikucurkan uang dari atas, untuk tidak berkegiatan, untuk stay at home," jelas dia.

Rhenald mengakui bahwa bila diharapkan adanya pergerakan ekonomi, memang harus ada kegiatan ekonomi-produktif.

"Misalnya kegiatan pagar karya, tujuannya adalah banyak orang yang bekerja dan bisa meningkatkan pendapatan. Jadi tidak lagi helicopter money, tetapi kegiatan ekonomi produktif.  Jadi tidak mungkin kita hanya berpikir constrain-based, kita juga memerlukan pemikiran yang disebut oportunity-based," kata Rhenald.

Hal keempat adalah, dalam setiap peristiwa perubahan akan selalu ada resistensi atau suatu penolakan, baik secara halus maupun secara terang-terangan.

"Jadi tidak heran kalau ada petisi-petisi atau yang keberatan, karena seperti itulah yang namanya perubahan. Selalu akan ada resistensi. Apakah perubahan itu dilakukan hari ini, 30 tahun lalu, atau dilakukan 20-30 tahun kedepan," ujar Rhenald.

"Jadi kita tinggal pilih, mau kita lakukan sekarang atau di masa depan," lanjutnya.

Hal kelima dalam perubahan, menurut Renald adalah ketidakpastian.  "Ketidakpastian selalu ada dalam rencana-rencana besar, apalagi yang dilakukan tidak sekejab," katanya.