Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Kebijakan (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 11 persen pada April 2022 tidak akan berdampak besar pada inflasi.
Hal itu dikarenakan kenaikan tarif PPN relatif rendah dan baru dimulai di pertengahan tahun.
“Itu pun mulai 1 April 2022, kalau dalam konteks setahun itu tiga perempat tahun, sehingga dampaknya inflasi ke 2022 cukup terbatas,” katanya, Jakarta, Kamis (10/2).
Advertisement
Adapun Kementerian keuangan, menargetkan sasaran inflasi pada 2022 sebesar 3 plus minus 1 persen year on year (yoy). Angka tersebut masih lebih tinggi dari realisasi 2021 sebesar 1,87 persen year on year.
“Kita ada kenaikan tapi tidak akan terlalu banyak karena PPN, itu (kenaikan inflasi) di bawah setengah persentase inflasi. Jadi cukup bisa kita antisipasi,” jelas Febrio.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan tarif PPN yang baru telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pada 2025 kenaikan tarif tunggal PPN akan berlanjut menjadi 12 persen.
Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen, Ada Barang dan Jasa yang Bebas Pajak
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP resmi sah berlaku per 29 Oktober 2021 pasca ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Aturan baru ini mencakup 6 kelompok pengaturan, salah satunya terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
UU HPP bakal menaikan tarif PPN dari yang saat ini sebesar 10 persen menjadi 11 persen, ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022. Tarif PPN bakal berlanjut meningkat bertahap menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai, kenaikan tarif PPN ini relatif masih lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 15,4 persen. Dia bahkan mencontohkan beberapa negara berkembang lain, yang pungutan pajaknya masih lebih tinggi daripada di Indonesia.
"Secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen. Dan juga lebih rendah dari Filipina 12 persen, China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen, dan India 18 persen," terangnya, seperti dikutip Kamis (4/11/2021).
Kendati begitu, pemerintah tetap mengecualikan pengenaan tarif PPN kepada sejumlah barang dan jasa yang menjadi kepentingan masyarakat banyak. Termasuk barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan, yang dalam Rancangan UU HPP sempat dimasukan ke dalam barang/jasa kena pajak.
Penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Advertisement