Liputan6.com, Jakarta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) tengah menuai polemik.
Sejumlah kalangan menangkap isi dari Permenaker tersebut mengatur bahwa JHT baru bisa diairkan pada usia 56 tahun.
Baca Juga
Menanggapi hal ini, Perencana Keuangan Safir Senduk mengatakan program JHT yang dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan memberikan manfaat cukup besar bagi pekerja yang memasuki hari tua.
Advertisement
Program jaring pengaman sosial ini bisa menjadi penguat fondasi masyarakat yang tidak lagi memiliki penghasilan ketika memasuki usia pensiun.
Dia menjelaskan, dari sisi financial planning, perubahan skema pencairan JHT yang disusun pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua sudah tepat.
"Namanya saja JHT, Jaminan Hari Tua dan memberikan jaminan bahwa hari tua kita aman. Kalau sebelum hari tua sudah bisa kita ambil namanya JHM (Jaminan Hari Muda)," kata dia, Selasa (15/2/2022).
Menurutnya, polemik yang muncul dewasa ini lebih disebabkan oleh terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai konsep JHT serta minimnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan di masa mendatang.
Safir menambahkan, JHT adalah salah satu program sosial yang memberikan proteksi kepada pekerja sehingga dalam kondisi apapun pencairan klaim harus dilakukan ketika masyarakat memasuki usia tua.
Program ini berbeda dibandingkan dengan tabungan konvensional yang bisa dicairkan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan nasabah. "Ingat, JHT ini bukan rekening bank yang bisa kita akses sewaktu-waktu," ujarnya.
Safik pun menyadari penolakan dari kalangan pekerja berdasar pada hilangnya penghargaan yang diterima ketika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah usia produktif. Terlebih mayoritas pekerja tidak memiliki simpanan jangka pendek yang bisa diakses dalam situasi mendesak.
Akan tetapi pemerintah telah memberikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang bisa memberikan perlindungan bagi kalangan pekerja saat dikenai PHK dan berfungsi sebagai jaring pengaman sosial.
"JKP bisa memberikan klaim kepada pekerja. Seharusnya dengan adanya program ini tidak ada lagi permasalahan," kata dia.
Â
Berfikir Jangka Panjang
Safir meminta kepada masyarakat untuk berpikir jangka panjang dengan mempertimbangkan esensi dari program JHT. Apalagi, manfaat yang diberikan pemerintah melalui program ini cukup besar.
JHT adalah program wajib bagi peserta penerima upah dengan iuran per bulan sebesar 5,7 persen dari upah yang diterima. Dari jumlah tersebut, pekerja membayar iuran sebesar 2 persen, sedangkan 3,7 persen dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Ketika memasuki hari tua, manfaat yang diterima oleh pekerja dari JHT berupa uang tunai bersumber dari iuran yang telah dibayarkan selama menjadi peserta ditambah dengan hasil pengembangan dana tersebut.
Mengenai manfaat yang diterima pekerja saat memasuki hari tua dari program JHT, dengan menggunakan asumsi upah per bulan sebesar Rp5 juta per bulan, maka iuran yang dibayarkan untuk program JHT sebesar Rp285.000 per bulan atau Rp3,42 juta per tahun.
Apabila pekerja menjadi peserta JHT pada usia 25 tahun dan dinyatakan pensiun ketika usia 56 tahun, artinya pekerja tersebut membayar iuran selama 31 tahun dengan total dana yang dibayarkan mencapai RpRp106,02 juta.
Dengan mempertimbangkan adanya perubahan saldo awal tiap tahun serta imbal hasil yang diterima setelah iuran tersebut diinvestasikan ke berbagai instrumen oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka manfaat yang diperoleh pekerja saat hari tua berdasarkan penghitungan Kalkulator JHT mencapai Rp248,55 juta.
Adapun, instrumen investasi yang dijadikan penempatan dana kelolaan JHT di antaranya adalah Surat Berharga Negara (SBN) dan deposito perbankan, dengan tingkat imbal hasil rata-rata di kisaran 5-7 persen.
Advertisement