Liputan6.com, Jakarta Polemik pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) masih terus mengundang atensi. Bahkan, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang digadang pemerintah, disebut tak mampu menggantikan JHT.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan instrumen JKP untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja dan yang mengundurkan diri. Namun, dana sebesar 45 persen dari gaji dinilai hanya bersifat sementara.
Baca Juga
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menilai JKP tak bisa menjadi solusi pengganti JHT. Apalagi melihat besaran yang dibayarkan serta waktu yang terbatas.
Advertisement
"Jadi JKP sebenarnya bukanlah solusi, hanya semacam bantuan atau santunan sederhana agar tetap bisa makan menjelang korban PHK masuk ke dalam kategori tak berpenghasilan sama sekali," kata dia dalam keterangannya, Rabu (16/2/2022).
Ronny menilai jumlah yang diberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan tak bisa menutupi kebutuhan pekerja yang terkena PHK. Enam bulan masa penerimaan JKP pasca PHK sebesar 45 persen dari gaji dinilai tak tepat. Apalagi, jumlah itu hanya dibayarkan untuk 3 bulan awal, sementara tiga bulan selanjutnya hanya 25 persen dari gaji.
"Sangat bisa dibayangkan bahwa jumlah tersebut bukanlah jumlah yang diharapkan untuk menghadapi masa pengangguran," terangnya.
Sementara itu, ia melihat aturan lainya yang menyatakan dana Jaminan Hari Tua bisa dicairkan oleh korban PHK sekitar 10 persen dari total juga tak masuk akal. Mengingat jumlahnya yang dipandang tak sepadan dengan apa yang dialami ileh korban PHK ketika tak mampu mendapatkan pekerjaan pengganti.
"Kemudian ada pula logika dana hari tua yang digunakan pemerintah dikembalikan pada makna katanya, yakni dana untuk hari tua alias sudah tidak produktif, sehingga hanya bisa dicairkan disaat sudah pensiun," katanya.
"Namun logika ini hanya berlaku bagi pekerja yang memang tetap bekerja sampai masa pensiun di umur 56 tahun, tanpa terkena PHK," imbuh dia.
Lagi-lagi, kata dia, jika mengacu kepada kondisi pensiun, bukan umur, maka pekerja yang terkena PHK itu telah masuk ke kondisi pensiun. Alasannya karena tak lagi produktif disamping kebutuhan yang melebihi pensiunan.
"Dan di saat itulah mereka membutuhkan dana hari tua untuk dicairkan segera sebagai alternatif," ujarnya.
Â
Investasi
Lebih lanjut, Ronny menyampaikan rasa tak sepakatnya dengan pernyataan Anggita DPR RI Irma Suryani yang menyebut JHT diinvestasikan untuk hari tua. Ronny mengatakan hal ini tak bisa dijalankan bagi korban PHK.
"Tapi logika ini tak bisa dipaksakan kepada korban PHK, karena logika investasi hanya berlaku di saat normal di mana pekerja masih menerima penghasilan dan mampu menutupi segala kebutuhannya," katanya.
Apalagi, kata dia, logika investasi itu tak bisa diterapkan sementara kebutuhan dari korban PHK itu sedang tinggi-tingginya. Misalnya tanggungan harian hingga biaya pendidikan.
"Jangankan dana pensiun, bahkan kendaran, rumah, perhiasan, berbagai aset dan sertifikat pun bisa dicairkan, apalagi dana investasi. Aneh jika memilih logika investasi di saat kebutuhan dasar saja sulit dipenuhi karena telah di-PHK. Pemenuhan kebutuhan dasar dan logika "survival" jauh di atas logika investasi," tukasnya.
Advertisement