Sukses

HEADLINE: Polemik JHT, Biarkan Pekerja yang Menentukan

Tuntutan buruh hanya satu, cabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.

Liputan6.com, Jakarta Polemik Program Jaminan Hari Tua (JHT) terus bergulir. Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Mereka seakan belum puas dengan penjelasan menaker mengenai mekanisme pencairan JHT.

Tuntutan buruh hanya satu, cabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.

Demo tidak hanya dilakukan di Jakarta, juga tersebar di berbagai daerah yang berlokasi di depan kantor dinas tenaga kerja dan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan.

Perjuangan buruh ini menuai perhatian Menaker Ida Fauziyah. Terlihat saat sejumlah perwakilan buruh diterima untuk melakukan mediasi dengannya.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz menyampaikan hasil mediasi antara buruh dan Menaker Ida Fauziah. Salah satunya, buruh yang terkena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di antara Februari hingga April 2022 masih bisa mencairkan JHT.

“Ini tidak kita harapkan, tapi bila ada anggota kita memang nasibnya tidak baik kemudian ter-PHK di dalam Februari ini di Maret ini, maka dipastikan JHT-nya bisa langsung diambil. Tapi jangan sampai kita ter-PHK,” katanya di hadapan massa aksi, Rabu (16/2/2022).

Pada pertemuan itu pula, pihak buruh memberikan waktu kepada Kemenaker untuk mencabut Permenaker Nomor 2/2022 dalam dua minggu ke depan. Para pimpinan serikat buruh dan konfederasi serikat buruh memastikan akan melakukan pengawasan berkala.

Surati Jokowi

Masih soal perjuangan JHT ini, buruh bahkan sudah menyampaikan keinginan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Partai Buruh sudah menyurati Presiden untuk meminta pembatalan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, pada Selasa (15/2/2022).

"Partai Buruh bersama KSPI sudah mengirimkan surat kepada bapak Presiden RI Joko Widodo untuk segera memerintahkan Menaker Ibu Ida Fauziah mencabut Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.

Dalam surat tersebut, selain minta pembatalan Permenaker, buruh meminta aturan JHT dikembalikan ke ketentuan lama.

"Diberlakukan lagi Permenaker No. 19 tahun 2015 yang intinya membolehkan pekerja buruh yang ter-PHK mundur diri pensiun dini atau alasan apapun yang sudah tidak lagi bekerja bisa mengambil atau mencairkan dana JHT paling lama satu bulan setelah ter-PHK atau mengundurkan diri atau pensiun dini atau apapun keluar dari perusahaan," terang Said.

Pria yang juga menjabat sebagai Presiden KSPI ini menduga, keluarnya aturan Permenaker ini tanpa diskusi dengan Presiden. Sebab, aturan baru itu malah membuat muncul gejolak di masyarakat luas. Bahkan sampai muncul petisi online penolakan atas aturan baru JHT tersebut.

Said menekankan, JHT begitu dibutuhkan para pekerja, baik yang terkena PHK maupun yang mengundurkan diri hingga pensiun dini. Sebab, pekerja yang tekena PHK, perlu bertahan hidup karena kehilangan pendapatan.

"Atau mengundurkan diri ingin berwiraswasta atau pensiun dini menghabiskan waktu di kampung dengan kemudian menggunakan dana JHT, itu sangat bermanfaat sekali," tuturnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Menaker Tepis Isu JHT

Menaker Ida Fauziyah, menepis isu terkait JHT yang tidak bisa dicairkan jika peserta BPJS ketenagakerjaan belum berusia 56 tahun. Sebenarnya, JHT bisa diklaim sebelum usia 56 tahun, namun harus mengikuti persyaratan tertentu.

“Saya ingin menegaskan adanya pandangan yang mengatakan bahwa manfaat JHT hanya dapat diambil pada saat berusia 56 tahun tidaklah sepenuhnya benar, yang benar adalah manfaatnya juga dapat diambil sebagian dengan kepesertaan tertentu yang telah dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja,” jelas Ida Fauziyah.

Dana iuran dari program JHT tidak akan hilang dan dapat diklaim seluruhnya setelah peserta memasuki usia 56 tahun atau bila peserta mengalami cacat total sebelum usia pensiun atau meninggal dunia.

“Sejak awal JHT dipersiapkan untuk kepentingan jangka panjang, karena untuk kepentingan jangka pendek juga ada, pekerja yang mengalami situasi cacat permanen, meninggal dunia atau pindah ke luar negeri semua telah memiliki hak jaminan sosial dengan ketentuan-ketentuan khususnya,” ungkap Menaker.

Kendati begitu, jika manfaat JHT dilakukan klaim 100 persen. Maka, tujuan program JHT yang dicanangkan Pemerintah tidak akan tercapai. Oleh karena itu, melalui Kementerian Ketenagakerjaan program JHT diubah kebijakannya.

Ketentuan mengenai usia 56 tahun ini tentunya tidak berlaku untuk peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap. Bagi peserta yang meninggal dunia ahli warisnya dapat langsung mengajukan klaim Jaminan Hari Tua.

“Sedangkan bagi peserta yang mengalami cacat total tetap sebelum usia 56 tahun klaim dapat diajukan, setelah adanya penetapan cacat total tetap dan perhitungannya pada tanggal 1 bulan berikutnya setelah penetapan cacat total tetap tersebut,” ujarnya.

Ketentuan Klaim

Terkait pengajuan klaim JHT, ketentuannya tertuang dalam undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Di mana dalam jangka waktu tertentu bagi peserta yang membutuhkannya dapat mengklaim sebagian dari manfaat JHT.

“Selanjutnya hal tersebut diatur dalam PP nomor 46 tahun 2015 bahwa klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mempunyai masa kepesertaan paling sedikit 10 tahun dalam program JHT,” kata Menaker.

Saat ini, banyak yang bertanya bagaimana dengan peserta yang mengalami PHK atau mengundurkan diri atau pensiun sebelum usia 56 tahun.

Kata Menaker, pada prinsipnya semua peserta baik yang masih bekerja atau yang mengalami PHK atau mengundurkan diri maupun peserta yang usia pensiunnya dibawah 56 tahun, maka sebagian manfaat JHT dapat dilakukan klaim sebelum yang bersangkutan berusia 56 tahun.

“Dengan syarat mempunyai masa kepesertaan dalam program jaminan hari tua minimal 10 tahun. Klaim JHT yang dapat diajukan maksimal 30 persen dari manfaat JHT dengan tujuan akan digunakan untuk kepemilikan rumah, atau maksimal 10 persen digunakan untuk keperluan lainnya keduanya dalam bentuk uang tunai. Adapun sisa dari manfaat JHT yang belum diambil dapat diambil pada saat usia 56 tahun,” pungkasnya.

 

3 dari 4 halaman

Aturan JHT Bisa Dicabut

Dengan munculnya penolakan dari berbagai elemen buruh, lantas apa bisa aturan ini dicabut?. Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai, putusan soal JHT tersebut memang kurang bijak lantaran reaksi negatif terus bermunculan.

Secara aturan tata negara, isi Permenaker Nomor 2/2022 bisa diubah atau dicabut lewat dua mekanisme. Pertama, pengajuan keberatan atau gugatan kepada Menaker untuk mencabut aturan pencairan JHT tersebut.

Kedua, adanya upaya banding kepada presiden agar memerintahkan Menaker membatalkan regulasi tersebut.

"Upaya ini bisa dilakukan oleh para mereka yang terkena aturan ini. Atau, Menaker dengan berbagai bidang kajian, tanpa harus dimohonkan dicabut dia akan cabut sendiri. Sebaiknya kesadaran itu (diutamakan)," kata Asep kepada Liputan6.com.

Presiden dinilai jelas punya kewenangan intervensi untuk memerintahkan Menaker mencabut aturan pembayaran JHT di usia 56 tahun. Pertanggungjawaban utama atas segala kebijakan pemerintah jelas berada di bawah kendali Jokowi.

"Boleh enggak presiden mencabutnya? Ya boleh. Tapi hemat saya, hirarkinya cabut dulu oleh yang bersangkutan atas perintah presiden," terang Asep.

"Mengapa presiden memerintahkan, karena ada gejolak yang tidak baik dari masyarakat terhadap Permenaker ini. Maka presiden boleh memerintahkan itu," tandas dia.

Dinilai Cacat Hukum

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari memandang, kehadiran aturan terkait JHT itu memang cacat secara hukum. Dianggap bentuk melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 91/PUU-XVIII/2020 soal Cipta Kerja.

Diketahui dengan lahirnya Permenaker ini, pemerintah berdalih akan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Di mana, JKP sendiri seperti dilansir dalam laman Kemenku, merupakan program jaminan sosial baru yang diatur dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja untuk melindungi pekerja atau buruh yang terkena PHK agar tetap dapat mempertahankan derajat hidupnya sebelum masuk kembali ke pasar kerja.

"Pemerintah melalui presiden dan menteri-menterinya secara terbuka telah melanggar Putusan MK," kata Feri kepada Liputan6.com.

"Dalam amar putusan MK jelas di poin tiga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan. Selama proses itu dilarang membentuk peraturan pelaksana, termasuk Permenaker itu," sambungnya.

Karena itu, Feri berharap Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini harus batal demi hukum.

Di sisi lain, Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menilai JKP tak bisa menjadi solusi pengganti JHT. Apalagi melihat besaran yang dibayarkan serta waktu yang terbatas.

"Jadi JKP sebenarnya bukanlah solusi, hanya semacam bantuan atau santunan sederhana agar tetap bisa makan menjelang korban PHK masuk ke dalam kategori tak berpenghasilan sama sekali," kata dia dalam keterangannya, Rabu (16/2/2022).

Ronny menilai jumlah yang diberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan tak bisa menutupi kebutuhan pekerja yang terkena PHK. Di mana, 6 bulan masa penerimaan JKP pasca PHK sebesar 45 persen dari gaji dinilai tak tepat. Apalagi, jumlah itu hanya dibayarkan untuk 3 bulan awal, sementara tiga bulan selanjutnya hanya 25 persen dari gaji.

"Sangat bisa dibayangkan bahwa jumlah tersebut bukanlah jumlah yang diharapkan untuk menghadapi masa pengangguran," terangnya.

 

4 dari 4 halaman

Buruh Siap Ambil Langkah Hukum

Polemik mengenai pencairan JHT ini ternyata juga sampai ke telinga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Maklum saja, Menaker Ida Fauziyah merupakan menteri yang berasal dari PKB.

Cak Imin mengklaim telah meminta Ida Fauziyah untuk mengumpulkan semua pimpinan seribat buruh agar bisa berdialog membahas JHT ini. "Saya kira Bu Ida saya minta segera ngumpulkan semua pimpinan serikat buruh, ditanya," klaim dia.

Wakil Ketua DPR RI ini meminta Ida agar dalam membuat keputusan melibatkan kelompok buruh supaya tidak lagi terjadi kesalahpahaman.

"Dan sekali lagi, setiap bikin keputusan libatkan pimpinan-pimpinan buruh supaya tidak terjadi kesalahpahaman," kata Cak Imin.

Sementara dukungan untuk melibatkan buruh dalam pembuatan keputusan juga dilontarkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Ketua Bidang Perbankan dan Keuangan Badan Pengurus Pusat (BPP), Anggawira ingin pemerintah mengkaji ulang aturan pencairan JHT ini.

Baginya, Usulan adanya proporsi atau persentase klaim JHT ini kemungkinan diperlukan pekerja/buruh yang membutuhkan dana, tanpa perlu menunggu jangka waktu tertentu.

“Mungkin bisa ada proporsi persentase lah mungkin ya kalau bisa ada sih. Jadi, ada persentase tertentu yang bisa diambil dalam jangka waktu tertentu tanpa menunggu usia 56 tahun namun kini opsional lah kira-kira,” ucapnya.

Anggawira menegaskan, bagi pengusaha kebijakan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) ini tidak berdampak kepada pengusaha.

“Kalau bagi pengusaha JHT ini kan nggak ada dampak langsung ya karena memang sudah kewajiban kita untuk membayarkan premi itu kan,” ucapnya.

Pada akhirnya, jika permenaker soal pencairan JHT ini tidak dicabut, buruh akan mengambil langkah hukum. 

“Upaya hukum menjadi salah satu upaya yang tetap kami pertimbangkan. Namun ASPEK Indonesia berharap Pemerintah bersikap arif dan bijaksana, dengan membatalkan Permenaker No 2 tahun 2022,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Sabda Pranawa Djati kepada Liputan6.com.

Sabda menyampaikan alasannya dana Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan hak pekerja dan berasal dari uang buruh yang dikumpulkan secara berkala. Ia menegaskan JHT ini tak ada sepeserpun uang milik pemerintah.

“Akan aneh jika kemudian buruh harus menempuh upaya hukum, dalam hal ini menggugat Pemerintah, untuk bisa mengambil uangnya sendiri,” tegasnya.