Liputan6.com, Jakarta Indonesia menyimpan potensi biomassa sangat besar untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai energi baru terbarukan (EBT).
Kalangan pengusaha EBT dan kehutanan sangat yakin, potensi dahsyat biomassa tersebut akan berperan sangat penting dalam proses transisi energi di Indonesia, guna mempercepat tercapainya nol emisi karbon (net- zero emission, NZO). Bahkan, Indonesia dipercaya akan menjadi pusat energi biomassa dunia.
Baca Juga
Kolaborasi, sinergi dan kerjasama antara investor EBT biomassa dan kalangan dunia usaha kehutanan, mampu berkontribusi di dalam pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk menghasilkan energi listrik sangat besar, dengan total investasi yang juga besar.
Advertisement
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Perindustrian Bobby Gafur mengatakan, kolaborasi dan sinergi tersebut akan mampu menghasilkan 32,6 GW (gigawatt), dengan total nilai investasi yang akan mengalir masuk sebesar USD 52,1 miliar dan mampu menyerap sedikitnya 12 juta orang tenaga kerja.
"Ini ‘kan luar biasa sekali,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (19/2/2022).
Tak hanya itu, potensi devisa yang akan dihasilkan melalui ekspor bahan baku biomassa berupa woodpellet juga sangat besar. “Sebesar 60 juta ton woodpellet dengan nilai ekspor pertahun yang bisa mencapai Rp.90 triliun,” ujar Bobby menambahkan.
Dengan potensi dahsyat, akan mampu membawa Indonesia menjadi pusat energi biomassa dunia.
“Hutan Tanaman Energi itulah sesungguhnya energi masa depan yang akan membawa Indonesia menjadi pusat energi biomassa dunia. Kami sangat yakin, potensi sebesar ini juga akan membawa Indonesia berperan jauh lebih besar dalam mempercepat tercapainya net-zero emission,” kata Direktur Utama/CEO PT Protech Mitra Perkasa Tbk ini.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan, sedikitnya 34 perusahaan anggota APHI sudah menyatakan minat untuk berinvestasi dibidang ini. Bahkan, beberapa diantaranya bahkan sudah memasukkannya dalam rencana bisnis mereka.
“Potensi manfaat yang kita dapat akan sangat dahsyat,” kata dia.
Indroyono juga menjelaskan bahwa APHI juga siap mendukung program de-dieselisasi pembangkit tenaga listrik yang masih menggunakan minyak solar, terutama di kawasan timur Indonesia, dan digantikan dengan bahan baku energi biomassa yang biayanya lebih murah dibandingkan dengan harga minyak solar.
“Kami sedang melakukan penjajakan dan uji coba penggunaan energi biomassa untuk program de-dieselisasi pembangkit listrik di Pulau Bawean, Jawa Timur,” ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Konversi Bahan Biologis
Ketua Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Djoko Winarno menjelaskan, energi biomassa (biomass energy) sendiri adalah jenis bahan bakar yang dibuat dengan mengkonversi bahan-bahan biologis seperti tanaman dan produk-produk pertanian/perkebunan.
Untuk mengubah menjadi bahan bakar, energi biomassa umumnya menggunakan teknologi gasifikasi (gasifikasi fluidized bed), yaitu suatu proses pengubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas (cair). Biomassa bisa diubah menjadi listrik atau panas dengan proses teknologi yang sudah mapan.
Selain biomassa seperti kayu, dari kegiatan industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan, limbah biomassa yang sangat besar jumlahnya pada saat ini juga belum dimanfaatkan dengan baik.
Djoko Winarno memaparkan bahwa sinergi dan potensi besar serta semangat kuat para pelaku usaha EBT dan kehutanan tersebut akan mampu berkontribusi besar dalam proses transisi energi di Indonesia menuju net-zero emission.
Dalam kaitan dengan upaya memacu tercapainya NZE tersebut, menurut Djoko, biomassa merupakan sumber EBT yang memiliki karakter 'istimewa' jika dibanding sumber energi yang lain.
“Pertama, biomassa adalah satu-satunya sumber EBT yang dapat dibawa kemana saja. Listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Biomassa (PLTBm) relatif stabil dan dapat tersedia setiap saat. Banyak lagi karakter khususnya,” ujarnya.
Dijelaskannya, dampaknya pada pengurangan gas rumah kaca (GRK) juga sangat efektif dan jelas sekali. “Ingat, biomassa umumnya berasal dari kayu, dan kayu mengandung sulfur, yang emisinya jauh lebih rendah, sehingga berdampak langsung pada pemanasan global,” katanya.
Dia menambahkan bahwa bila feedstock dari sampah, maka akan terjadi pengurangan emisi gas methane yang dihasilkan oleh tumpukan sampah. Untuk diketahui, gas methan merupakan gas yang daya rusaknya ke atmosfir 21 kali lebih tinggi dari CO2.
Advertisement