Sukses

HEADLINE: Mogok Berulang Produsen Tahu Tempe, Adakah Solusi Jitu Atasi Mahalnya Harga Kedelai ?

Harga kedelai yang melambung membuat para perajin tahu tempe melakukan mogok produksi.

Liputan6.com, Jakarta Masalah yang sama seakan terus berulang tanpa titik temu permanen. Lonjakan harga kedelai impor yang kemudian mendulang kenaikan harga tempe dan tahu, kembali terdengar akhir-akhir ini.

Ancaman mogok digaungkan para produsen atau perajin tahu tempe di beberapa wilayah di Indonesia. Mogok seakan jadi pilihan perajin menyuarakan kegundahan akan lonjakan harga kedelai. 

Para perajin tahu tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), pekan lalu, mewanti-wanti tidak akan ada tahu dan tempe di pasar. Itu karena mereka akan menggelar aksi mogok produksi selama 3 hari mulai 21 hingga 23 Februari 2022.

Tak cuma mogok produksi, perajin tempe dan tahu juga mengancam turun ke jalan jika pemerintah tak bisa menangani masalah mahalnya harga kedelai ini. Istana negara di Jakarta jadi salah satu tujuan aksi demo.

Meski kemudian Gakoptindo berubah pikiran dan membatalkan aksi mogok di hari H. “Menyusul surat kami No: 007/Gakoptindo/1/2022 tanggal: 15 Januari 2022. Perihal Himbauan Untuk Tidak Mogok Produksi/Demo,” tulis surat himbauan yang ditandatangani pada Minggu 20 Februari 2022.

Pembatalan mogok produksi tersebut berdasarkan 4 hal. Pertama, sesuai hasil pertemuan koordinasi antara Pengurus Gakoptindo dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan pada 4 Februari 2022.

Kedua, hasil pertemuan Pengurus Gakoptindo dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pada 21 Januari 2022, dan rapat-rapat selanjutnya dengan Kementerian Pertanian.

Ketiga, berdasarkan hasil pertemuan dengan Direktur Perum Bulog tanggal 18 Februari 2022 di RTI Bogor. Keempat, hasil koordinasi dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, pada 20 Februari 2022.

“Dengan ini kami menghimbau kepada seluruh pengrajin tempe tahu di seluruh Indonesia, agar supaya tidak jadi mogok produksi & dagang tempe tahu,” bunyi surat himbauan.

Dikatakan pemerintah berjanji akan membantu menyelesaikan masalah yang dituntut atau diusulkan oleh Pengrajin Tempe Tahu Anggota Kopti dan Gakoptindo. Pemerintah juga akan memberikan bantuan agar harga kedelai yang dibeli oleh perjain Tempe Tahu Anggota KOPTI tetap terjangkau.

Surat himbauan tersebut ditandatangani beberapa pengurus Gakoptindo, antara lain Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin dan Ketua Puskopti Jawa Timur Sukari, dan lainnya.

Namun ada perajin tempe dan tahu yang tetap kukuh dengan rencananya. Seperti para perajin tahu tempe yang tergabung dalam Payuban Dadi Rukun ngotot mogok menegaskan tetap mogok produksi selama 3 hari.

Selain mogok produksi, para perajin tempe di wilayah Depok dan sekitarnya ini juga menggelar aksi unjuk rasa dalam bentuk aksi teatrikal.

“Mogok produksi kami lakukan karena para perajin tahu dan tempe sudah tidak bisa jualan karena harga bahan baku naik tajam,” ujar Ketua Umum Paguyuban Dadi Rukun, Rasjani di sela-sela aksi yang digelar di Depok.

Para perajin tempe di Depok ini menumpuk drum dan kerei di lapangan di dekat sentra produksi tempe di wilayah Depok. Dua peralatan utama yang biasa mereka pakai saat pembuatan tempe. Drum biasa dipakai untuk merebus kedelai. Sementara ‘kerei’ digunakan untuk menyusun tempe.

“Kami sengaja menumpuk drum dan kerei di lapangan sebagai bentuk protes atas kenaikan harga kedelai yang membuat kami tidak bisa produksi,” ujar Rasjani.

Anggota Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) DKI Jakarta juga kukuh dengan pendiriannya untuk mogok. Aksi mogok bahkan sudah berlangsung lebih awal, sejak 18 Februari 2022 hingga 20 Februari 2022.

“Sudah dilaksanakan (mogok produksi) terutama buat yang produksi tempe sudah tiga hari dari mulai hari jumat sabtu minggu, sudah tidak ada kegiatan merebus yang seharusnya buat tiga hari ke depan,” kata Sekjen Puskopti DKI Jakarta, Hedy Kuswanto, kepada Liputan6.com.

Tak sekedar gertakan, tahu dan tempe memang lenyap di pasaran. Seperti di kota Depok, Jawa Barat. 

Kasubag Tata Usaha Pasar Kemirimuka, Budi Setiyanto mengatakan, puluhan lapak tahu dan tempe terlihat kosong di Pasar Kemirimuka. Hal itu karena para pedagang tidak mendapatkan pasokan tahu dan tempe dari para pengrajin yang ada di Kota Depok.

"Para pedagang sudah mulai tidak berjualan, rencananya selama tiga hari terhitung sejak hari ini," ujar Budi kepada Liputan6.com.

Dari pantauan Budi, harga kedelai saat ini mencapai Rp 12 ribu per kilogram dan dinilai memberatkan para pengrajin tahu dan tempe.

"Kenaikan harga kedelai tersebut yang menyebabkan tahu dan tempe sudah tidak ditemukan di pasar Kemirimuka," ucap Budi.

Hilangnya tahu tempe di pasar ternyata tidak dikeluhkan masyarakat selaku konsumen. Diduga hal itu dikarenakan para pengunjung sudah mengetahui akan rencana para pedagang tidak berjualan.

 

2 dari 5 halaman

Akar Masalah

Protes perajin tahu tempe hingga melakukan mogok produksi tak lain disebabkan mahalnya harga kedelai. Lonjakan harga ini sebenarnya sudah diwanti-wanti Kementerian Perdagangan (Kemendag). 

Mengacu pada data perkembangan harga di minggu pertama Februari 2022, harga kedelai mencapai USD 15,77 per bushel atau berkisar Rp 11.240 per kg di tingkat importir dalam negeri.

“Hal ini diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, berdasarkan informasi yang diterima kenaikan ini bisa sampai bulan Mei yang diperkirakan mencapai harganya USD 15,79 per bushel,” Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan.

Meski diperkirakan akan terjadi penurunan harga kedelai di Juli di kisaran USD 15,74 per bushel di tingkat importir.

Bushel adalah unit pengukuran yang berlaku di AS yang digunakan menakar volume kering suatu komoditas perdagangan, khususnya komoditas pertanian seperti kedelai. Ukuran 1 bushel = 27,2 kg.

“Tentunya, saya ingin menyampaikan kepada masyarakat  bahwa  kenaikan harga kedelai dunia berdampak pada kenaikan harga kedelai di tingkat pengrajin tahu dan tempe,” kata Oke.  

Dia menjelaskan, kondisi kedelai di dunia saat ini terjadi gangguan supply. Misalnya di Brazil terjadi penurunan produksi kedelai yang tadinya 140 juta ton menurun menjadi 125 juta ton.

Maka, terjadinya penurunan produksi kedelai dunia ini berdampak pada kenaikan harga kedelai. Beberapa penyebabnya adalah inflasi di AS yang mencapai 7 persen yang berdampak pada harga input produksinya.

Kemudian, terjadi kekurangan tenaga kerja dan kenaikan biaya sewa lahan, serta ketidakpastian cuaca di negara produsen yang mengakibatkan petani kedelai di AS menaikan harga.

Kemendag pun memprediksi dalam waktu dekat harga tempe di tingkat pengrajin akan naik di kisaran Rp 10.300-Rp 10.600 per kg. Degitu juga untuk harga tahu per papannya berkisar Rp 52.450-53.700 atau Rp 600-700  per potong.

“Karena para pengrajin harus membeli bahan baku berkisar antara Rp 11.500 lebih sehingga mereka kita pahami harus menyesuaikan harga produk turunan dari kedelai khususnya tahu dan tempe,” jelas.

Padahal, pada 2021 harga kedelai dalam kondisi normal hanya sekitar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg.

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi membeberkan fakta yang lebih menarik dibalik lonjakan harga kedelai dunia.

Naiknya harga kedelai di Indonesia karena adanya beberapa permasalahan dari negara importir yang salah satunya adalah cuaca buruk El Nina di kawasan Amerika Selatan.

"Jadi permasalahan kedelai di Indonesia yang harganya belakangan ini naik karena adanya beberapa permasalahan dan terjadinya El Nina di Argentina," ujar Muhammad Lutfi dikutip dari Antara.

Dia mengatakan, harga kedelai per gantang yang sebelumnya 12 dollar Amerika Serikat (AS) naik menjadi 18 dollar per gantang.

Naiknya harga kedelai, selain dari dampak cuaca buruk El Nina di Argentina dan kawasan Amerika Selatan yang menjadi negara pengimpor itu, juga dipengaruhi oleh kebutuhan besar di Cina.

Ia menyatakan jika baru-baru ini, di negeri tirai bambu Cina ada lima miliar babi baru yang semuanya itu pakannya adalah kedelai.

"Di Cina itu, awalnya peternakan babi di sana tidak makan kedelai, tapi sekarang makan kedelai. Apalagi baru-baru ini ada lima miliar babi di peternakan Cina itu makan kedelai," katanya.

Sementera itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan sebenarnya harga kedelai naik ini selalu terjadi setiap tahun. Pemerintah dipandang tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan harga kedelai.

"Ini seperti deJavu, apa yang terjadi dengan kedelai saat ini sama dengan di posisi Januari 2021," kata Bhima.

Apalagi kenaikan harga kedelai juga dipicu inflasi yang terjadi di Amerika Serikat, negara sumber impor kedelai Indonesia. Tak hanya itu, beban biaya logistik selama pandemi jadi bengkak.

Faktor lainnya, pemanfaatan kedelai sebagai pengganti dari minyak sawit di luar negeri. Kenaikan harga sawit nyatanya berdampak pada beralihnya masyarakat di Amerika Serikat, Amerika Latin hingga Eropa mencari alternatif minyak nabati. Pilihan pun jatuh pada kedelai atau dikenal dengan istilah soybean oil.

"Mereka mencari alternatif soybean oil sebagai alternatif minyak nabati lainnya," kata dia.

Selain itu, saat ini permintaan kedelai dari China meningkat signifikan. Di China, kedelai tidak hanya dikonsumsi manusia, melainkan digunakan untuk pakan ternak.

"Jadi ini semuanya karena faktor eksternal yang bermain," katanya.

Di sisi lain, Indonesia sangat ketergantungan terhadap impor kedelai karena kebutuhannya yang tinggi.

Sementara sampai saat ini belum ada upaya serius pemerintah untuk melakukan substitusi impor kedelai. Tujuannya untuk mendorong produksi kedelai nasional, peningkatan mutu dan kualitas, serta peningkatan dari jumlah produksi setiap tahunnya. "Ini tidak ada upaya maksimal ke sana, jadi ketergantungan impor," kata dia.

Sehingga apa yang terjadi di negara penghasil kedelai, akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlangsungan pengrajin tahu dan tempe di Tanah Air.

Sebenarnya, masalah lonjakan harga kedelai dan mogok produksi ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi.

Pada 2021, Mendag Muhammad Lutfi menyebutkan harga kedelai yang mencapai USD 13 per bushel (gantang) di pasar global menjadi yang tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Kala itu, Lutfi menyampaikan bahwa tingginya permintaan kedelai di pasar global, serta produksi yang menurun menjadi penyebab utama melambungnya harga kedelai.

Berdasarkan data Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indoensia (Gakoptindo), pada awal 2021 lalu harga kedelai melonjak hingga Rp 9.300-Rp 9.800 per kg, dari kisaran harga normal Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.

 

 

3 dari 5 halaman

Fluktuasi Harga Kedelai Makan Korban

Masalah lonjakan harga kedelai menjadi masalah yang serius bagi para perajin atau produsen tahu tempe. Tak stabilnya harga kedelai pun telah banyak memakan korban.

Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, mencatat, sebanyak 30 ribu pengrajin tahu dan tempe telah memutuskan berhenti berproduksi dikarenakan harga kedelai yang tidak stabil.

“Perlu kami sampaikan bahwa dari data kami yang ada beberapa tahun lalu, jumlah pengrajin tahu tempe itu lebih dari 160 ribu pengrajin tempe tahu yang rumahan. Sekarang, sudah lebih kurang 20 persen atau 30 ribu pengrajin tahu tempe berhenti berproduksi,” kata Aip.

Adapun pengrajin tahu dan tempe yang berhenti berproduksi pada umumnya yang jumlah produksi kedelainya sebesar 10 kg hingga 20 kg.

Lantaran, keuntungan yang diperoleh mereka dari menjual tahu dan tempe tidak mencukupi untuk membeli bahan baku kedelai selanjutnya.

“Begitu jadi dan dijual mereka mau beli lagi 20 kg kedelai itu tidak mencukupi, karena harga sudah naik. Itu yang membuat mereka tidak bisa berusaha terus-menerus. Kalau yang jumlahnya 100 kg atau lebih besar itu masih bisa dikurangi produksinya, dan kadang-kadang ukurannya dikurangi untuk mencegah ini,” ujarnya.

Aip menegaskan, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan, harga kedelai saat ini yang dipasok importir antara Rp 10.500- 11.500 dalam tempo 1 bulan ini.

“Jadi untuk itu,  harga yang landed di pengrajin tempe tahu saat ini sudah Rp 11.000 lebih, di luar pulau Jawa bisa Rp 12.000, sehingga harga daripada tahu dan tempe yang diproduksi kalau kami membeli kedelainya Rp 11 ribu lebih, kami jual 1 kg nya kira-kira Rp 11.500 per kg, itu untungnya dapat dikatakan hampir tidak ada habis,” jelasnya.

Aip Syarifuddin menerangkan perajin tahu tempe nasional setidaknya dalam tahun membutuhkan 3 juta ton lebih pasokan kedelai.

“Kondisi saat ini kedelai kami butuh satu tahun, lebih kurang 3 juta ton. Dari 3 juta ton itu 80 persen lebih impor, produksi lokal hanya 10 persen lebih,” kata Aip.

Oleh karena itu, Gakoptindo mengusulkan kepada Pemerintah, dan sudah direspon baik Menteri Pertanian. Beliau akan meningkatkan  produksi kedelai lokal itu minimal paling tidak sebesar 30 persen.

“Sebagai informasi bagi masyarakat, kami membuat tahu kita lebih cocok menggunakan kedelai lokal. Sedangkan membuat tempe lebih cocok kedelai impor,” ujarnya.

Sebagai gambaran, untuk produksi tahu dibutuhkan sebanyak 1 juta ton kedelai dalam setahun dan tempe dibutuhkan 2 juta ton kedelai per tahun.

Sementara agar bisa tetap menyajikan tahu tempe sebagai menu andalannya, pedagang warteg pun harus memutar otak. 

Pelaku usaha Warung Tegal (Warteg) di DKI Jakarta memutuskan untuk tidak menaikkan harga tahu tempe meski kedelai mahal. Untuk menyiasatinya, pedagang lebih memilih memangkas ukuran tempe setipis kartu ATM.

Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Mukroni menyatakan, keputusan tersebut terpaksa diambil agar pelanggan tidak kabur. Sehingga, mengurangi ukuran lebih dipilih ketimbang menaikkan harga tahu tempe yang tinggi protein tersebut.

"Oleh karena itu, yang nanti kita siasati dengan mengecilkan ukuran (tempe). Bisa-bisa tempe itu ukurannya tipis seperti (kartu) ATM," kata Mukroni kepada Merdeka.com.

Mukroni menambahkan, keengganan pelaku usaha Warteg untuk menaikkan harga jual tahu dan tempe lantaran daya beli masyarakat yang belum pulih akibat pandemi Covid-19. Apalagi, mayoritas konsumen didominasi oleh kelompok ekonomi menengah ke bawah.

4 dari 5 halaman

Dugaan Kartel

KPPU pun turun tangan menyelidiki lonjakan harga kedelai. Sebab, muncul isu dugaan kenaikan harga ini disebabkan adanya praktik kartel.

KPPU menyatakan hingga saat ini masih terus memantau perkembangan harga kedelai impor yang membuat tempe dan tahu di lenyap pasaran.

"Untuk kedelai, saat ini (KPPU) pantau terus perkembangannya," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur.

Akan tetapi, hingga saat ini KPPU belum memiliki bukti adanya indikasi adanya dugaan kartel dibalik mahalnya harga kedelai impor yang terjadi belakangan ini. Sebab, belum adanya temuan bukti kuat indikasi pelanggaran terhadap regulasi persaingan usaha.

"Saat ini, masih belum cukup informasi atas (kartel) tersebut," tutupnya.

Sebenarnya mengatasi melejitnya ada sejumlah langkah yang harus dilakukan pemerintah. 

Pertama, meminta para importir untuk membuat kontrak kerjasama jangka panjang kepada produsen kedelai di luar negeri. Cara ini dianggap bisa membuat harga kedelai lebih stabil.

"Panggil semua importir kedelai untuk menekan produsen menjadi kontrak jangka panjang sehingga stabilitas harga kedelai ini bisa terjamin," kata Direktur Celios Bhima Yudhistira.

Bhima menyebut, selama ini importir dengan produsen kedelai di luar negeri meneken kerjasama jangka pendek. Akibatnya risiko fluktuasi harga kedelai tidak bisa terhindarkan.

"Jadi jangan hanya kontrak jangka pendek. Kontrak jangka panjang bisa meminimalisir terjadinya fluktuasi harga bahan baku kedelai," sambungnya.

Solusi lainnya, dengan memberikan subsidi kepada para pengrajin tahu dan tempe. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah para pengrajin mogok produksi. Mengingat tahu dan tempe merupakan sumber alternatif protein yang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.

"Berikan mereka subsidi, cari jalan keluarnya kasih subsidi karena tahu tempe ini alternatif protein yang paling terjangkau lapisan masyarakat ke bawah," katanya.

Pemerintah juga harus memastikan agar tidak ada penimbunan atau manipulasi dari importir kedelai. Apalagi dalam beberapa bulan kedepan memasuki momentum bulan puasa dan lebaran.

Kondisi ini bisa diperparah kalau terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah. Termasuk juga rencana tapering off di negara maju yang bisa membuat biaya impor meningkat signifikan.

"Sekarang saja, ketika rupiah stabil harga kedelai sudah mahal. Apalagi ketika terjadi lonjakan atau Depresiasi nilai tukar rupiah, harga kedelai akan melonjak signifikan. Jadi stabilitas nilai tukar ini juga menentukan stabilitas harga kedelai impor," kata dia mengakhiri.

Sedangkan Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, menyarankan pemerintah mulai mengurangi ketergantungan impor kedelai. Langkah ini supaya harga kedelai tidak terus-menerus fluktuatif.

“Harusnya kita sudah mulai mengurangi impor, karena memang kita lihat produksi kedelai dari tahun ke tahun mengalami penurunan,” kata Tauhid kepada Liputan6.com.

Selama ini karena Indonesia tergantung kedelai impor, setiap kenaikan harga kedelai dunia akan berpengaruh kepada komoditas di Indonesia termasuk tempe dan tahu yang berbahan baku kedelai impor. 

Menurut Tauhid, terdapat 3 permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah terkait mahalnya kedelai yang berimbas kepada produsen dan pedagang tahu dan tempe.

“Pertama, luas lahan bersaing dengan komoditas jagung maupun komoditas lainnya,” ujarnya.

Kedua, mengenai produktivitas. Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu mencapai 1-2 juta ton per hektar. Sementara negara lain bisa 4 juta ton per hektar.

“Menurut saya, kita bisa menggunakan bibit kedelai hibrida yang sama dengan impor, sedangkan menggunakan bibit lokal produktivitasnya tidak bisa nendang atau maksimal. Saya kira ada persoalan disitu yang belum ada titik terangnya,” jelasnya.

Namun, permasalahan lainnya muncul yaitu pengelolaan penanaman kedelai di Indonesia masih sederhana dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan teknologi.

“Ketiga soal insentif, lama kelamaan petani enggan menanam meskipun sudah dipaksa, kita punya masalah dari segi produksi,” ucap Tauhid.

 

 

5 dari 5 halaman

Langkah Pemerintah

Kemendag langsung merespon lonjakan harga kedelai dunia. Mendag Muhammad Lutfi menyatakan jika saat ini pihaknya sementara menyiapkan mitigasi dari melambungnya harga kedelai secara nasional.

"Sekarang ini kami sedang menyiapkan mitigasinya dan kesempatan pertama minggu depan akan kami umumkan kebijakannya seperti apa," terangnya.

Kebutuhan kedelai dalam negeri setiap tahunnya adalah 3 juta ton. Sementara budi daya dan suplai kedelai dalam negeri hanya mampu 500 hingga 750 ton per tahunnya.

Sementara untuk menutupi kebutuhan nasional akan kedelai itu, pihaknya kemudian melakukan impor dari beberapa negara seperti negara dari kawasan Amerika Selatan tersebut.

Selain itu, meski kondisi kedelai di dunia mengalami gangguan pasokan, pihaknya memastikan stok kedelai cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 2 bulan ke depan.

“Stok kedelai yang diperoleh Akindo di importir saat itu sekitar 140 ribu ton dan di Februari ini masih akan masuk 160 ribu ton. Sehingga pasokan kedelai dipastikan cukup untuk memenuhi dua bulan ke depan,” kata Dirjen Perdagangan Dalam negeri Kemendag, Oke Nurwan.

Hal ini juga diamini Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) yang berkomitmen untuk terus melakukan impor kedelai, meski harganya di pasar internasional terus mengalami lonjakan akibat sejumlah faktor.

Direktur Akindo Hidayat menyatakan, pihaknya selaku importir kedelai bakal terus memasok kedelai impor sesuai permintaan. Jika permintaan dalam negeri masih jalan, pihaknya tetap akan menyediakan stok. .

"Sudah pasti untuk dua bulan ke depan, Februari-Maret stok ada. Itu pak Menteri Perdagangan sudah bicara juga," ujar Hidayat kepada Liputan6.com.

Meski sebelumnya Kementerian Perdagangan melaporkan, tren kenaikan harga kedelai masih berlanjut pada pekan kedua Februari 2022.

Bahkan, harga bahan baku tempe dan tahu ini diperkirakan bakal menyentuh angka tertinggi sebesar USD 15,78 per bushels pada Mei 2022.

Hidayat pun mewajari fluktuasi kenaikan harga kedelai di pasar global. Akindo juga telah berkomitmen menekan harga di tingkat perajin sebesar Rp 11.500-12.000. Sehingga tempe dapat dijual seharga Rp 10.300-10.600, dan tahu Rp 650-700 per potong.

Target Produksi

Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) memasang target produksi kedelai lokal 1 juta ton pada 2022 ini.

Target tersebut dicanangkan guna menjawab kebutuhan produksi tahu dan tempe, yang terganggu akibat kenaikan harga kedelai impor.

"Kami sudah mendapat arahan dari pimpinan, tahun ini kami diminta untuk menaikan produksi. Target produksi kami diminta 1 juta ton, selama setahun di 2022," kata Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementan Yuris Tiyanto kepada Liputan6.com, Senin (21/2/2022).

Guna mengejar target tersebut, Yuris menyatakan, Kementan berencana untuk melakukan peningkatan penanaman pada puncak musim tanam, yakni per periode April-Juni.

Selain itu, luas area tanam kedelai lokal juga akan ditingkatkan, sehingga total menjadi 650 ribu ha di tahun ini.

"Untuk mengejar itu, kami sudah merencanakan untuk peningkatan penanaman mulai dari bulan April-Juni. Pada bulan-bulan itu kita ditarget (tanam di) 300 ribu ha. Kemudian sisanya akan dicapai Juli-Oktober," terangnya.

Yuris pun berharap, proyeksi produksi 1 juta ton kedelai tidak terganggu oleh faktor cuaca. Sehingga produksi kedelai lokal bisa naik 800 ribu ton dari 2021 lalu.

"Kita berharap sesuai kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, puncak musim tanamnya bulan April-Juni. Itu yang akan kita kejar. Kita merencanakan menanam di 14 provinsi," ungkapnya.

"Tapi yang jelas tahun sebelumnya target hanya tercapai 200 ribu ton. Sekarang kita target 1 juta ton. Itu dalam rangka kebutuhan pabrik tempe/tahu, itu 1 juta ton," tandas Yuris.