Liputan6.com, Jakarta - Pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, ada sejumlah BUMN yang bergerak di sektor transportasi. Sebenarnya, tidak semua perusahaan milik negara ditarget keuntungan.
“Harusnya BUMN seperti itu tidak perlu untung, cost recovery saja sudah cukup,” kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/2/2022).
Di Australia, ada kebijakan pemerintah terhadap perusahaan telekomunikasi yang tidak dituntut untung besar. Namun ditarget asal bisa memberikan layanan ke seluruh negerinya yang cukup luas, dan biaya yang dipungut sudah bisa menutup operasional perusahaan sudah cukup.
Advertisement
Sekarang ini, semua perusahaan BUMN diwajibkan raih keuntungan sebesar-besarnya. Jika tidak memberikan keuntungan tinggi, jajaran direksinya bisa dicopot. Seperti, Perum Damri, PT Pelni, PT KAI, PT ASDP, PT Jasa Marga, dan BUMN lain sejenis tidak perlu ditarget keuntungan sebesar-besarnya.
Apalagi perusahaan itu berkecimpung untuk melayani publik. Misalnya, untuk tarif kendaraan barang masuk jalan tol, tarif kapal penyeberangan, tarif menggunakan KA, tarif menggunakan kapal laut tidak perlu naik terus setiap tahun.
“Jika pemerintah menyebutkan keberadaan jalan tol akan meningkat mobilitas angkutan logistik nasional. Apakah benar, dengan tarif kendaraan barang yang tinggi ketika menggunakan tol, lantas angkutan barang berbondong-bondong semua kendaraan barang menggunakan jalan tol?,” ungkapnya.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tarif Batas Atas
Selanjutnya, jika menghendaki semua angkutan barang menggunakan jalan tol yang ada, tarifnya harus lebih murah dari yang sekarang. Kompensasinya, tarif kendaraan pribadi lebih tinggi daripada kendaraan barang.
“Jika belum memenuhi masa konsesi, maka masa konsesi dapat diperpanjang. Asalkan jalan tol memang benar-benar dapat melancarkan angkutan logistik. Yang jelas, angkutan barang yang lewat tol tidak ODOL,” ujarnya.
Di samping itu, penetapan tarif angkut barang dapat dikendalikan Pemerintah dengan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Supaya pemilik barang tidak seenaknya menentukan tarif yang berujung pengemudi truk harus mengangkut muatan yang berlebihan (overload) dengan kendaraan berdimensi lebih (over dimension).
Sementara, jika terjadi kecelakaan lalu lintas, tidak hanya pengemudi yang dijadikan tersangka, namun pemilik barang dan pemilik angkutan juga harus dimintakan pertanggungjawabannya.
“Pemerintah selama ini baru mengajak pemilik barang dan pengusaha angkutan barang untuk berdiskusi menyelesaikan masalah truk ODOL. Tidak ada salahnya untuk mendengar keluhan pengemudi truk, karena mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari proses mata rantai penyaluran logistik dari hulu hingga hilir,” pungkas Djoko.
Advertisement