Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi.
Namun aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan (dan juga masyarakat di daerah 3T) serta pendekatan gender dirasa belum terefleksi dan terjawab dari draf RUU EBT yang ada.
Baca Juga
Oleh karena itu, Komisi Perempuan Indonesia (KPI) bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Webinar berjudul RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi.
Advertisement
Energi berperan penting dalam kehidupan perempuan yang lekat dengan aktivitas rumah tangga. Penggunaan jenis energi akan berpengaruh pada produktivitas dan hidup perempuan.
Jenis energi yang sarat emisi dan polusi akan berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan perempuan, terutama di daerah 3T di Indonesia.
Tidak hanya itu, selama ini perempuan hanya ditempatkan sebagai konsumen energi, padahal seharusnya ada kesempatan bagi masyarakat umum, termasuk perempuan di rumah untuk memproduksi energi dan menggunakannya sendiri.
Menyuarakan kebutuhan perempuan terhadap energi, KPI mendorong DPR RI dan pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi.
Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.
Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia KK Petani Dian Aryani menyayangkan perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih dalam pengembangan energi EBT. Ia juga memandang terminologi EBT tidak tepat.
Menurutnya dari pada mengembangan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan.
Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.
“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” katanya dikutip Selasa (8/3/2022).
Di sisi lain, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Mohamad Yadi Sofyan Noor memandang memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.
“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” ungkapnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Energi Terbarukan
Senada, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Rinaldy Dalimi menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan.
“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” tambahnya.
Rinaldy berpendapat ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, menyatakan RUU EBT dalam 3 bulan ke depan sudah dapat disahkan. Ia juga menyatakan bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan.
Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.
Sugeng memaparkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan.
Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun ia berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi.
Advertisement