Sukses

Jauh dari Ideal, Literasi Keuangan Digital di Indonesia Sangat Rendah

marak pinjaman online ilegal dan konsumen menjadi korban. Hal itu terjadi lantaran literasi finansial digital di Indonesia masih rendah.

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat dalam 5 tahun terakhir pengaduan terkait keuangan digital mencapai 51 persen. Artinya, masih banyak konsumen yang mengalami kendala dalam mengakses keuangan digital.

Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam webinar YLKI bertajuk “Perlindungan Konsumen Digital Finance“, secara virtual, Selasa (15/3/2022).

Dia menjelaskan, berkembangnya keuangan digital atau digital financial merupakan fenomena yang sangat menarik dan bermanfaat bagi perekonomian termasuk bagi masyarakat. Lantaran terdapat kemudahan-kemudahan di sektor finansial berbasis digital.

Tapi kemudian bukan berarti keuangan digital tidak menimbulkan masalah. Karena setelah itu banyak sekali persoalan-persoalan terkait dengan isu keuangan digital ini, baik dari segi hulu dan hilir.

“Ini yang harus kita tuntaskan sehingga betul-betul bahwa digital financial ini menjadi sistem baru yang berkeadilan bagi konsumen khususnya dan bagi regulator dan bagi pertumbuhan ekonomi di sektor ekonomi digital,” ujarnya.

Tulus mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu membangga-banggakan bahwa sektor keuangan digital ini menjadi salah satu backbone dalam mewujudkan perekonomian digital di Indonesia, yang konon dampaknya sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Tetapi menurut pantauan YLKI Setidaknya di dalam daftar daftar pengaduan YLKI masalah pengaduan ini dalam 5 tahun terakhir, sungguh sangat signifikan karena mencapai 51 persen dari total komoditas pengaduan konsumen yang diadukan di YLKI,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Contoh Kasus

Misalnya, kini marak pinjaman online ilegal dan konsumen menjadi korban. Hal itu terjadi lantaran literasi finansial digital di Indonesia masih rendah.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengantisipasi masalah-masalah keuangan digital, sehingga nanti konsumen kita tidak semakin terjerembab dengan persoalan-persoalan finansial digital.

“Lahirlah pinjol ilegal yang notabene merupakan anak haram tanda kutip di dalam sistem perekonomian finansial digital. Literasi digital kita masih rendah, inilah PR terbesar kita untuk meningkatkan literasi digital kita sehingga Konsumen akan menjadi konsumen yang sadar terhadap transaksi-transaksi nya,” pungkasnya.