Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperingatkan potensi krisis pangan dunia dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok yang dipicu konflik Rusia-Ukraina.
FAO menyoroti kondisi ini memunculkan risiko krisis kelaparan jutaan orang di dunia akibat potensi krisis pangan.
Baca Juga
Dilansir dari The Guardian, Kamis (17/3/2022) Kepala Ekonom di FAO, yakni Maximo Torero mengatakan harga pangan sudah tinggi bahkan sebelum konflik Rusia Ukraina terjadi, karena efek pandemi Covid-19.
Advertisement
Kini, konflik Rusia Ukraina yang sedang terjadi menambahkan risiko pada sistem pangan global. "Kita sudah mengalami masalah dengan harga pangan," kata Torero dalam wawancara dengan The Guardian.
"Apa yang dilakukan sejumlah negara sekarang memperburuk situasi, dan perang menempatkan kita dalam situasi di mana kita dapat dengan mudah bisa jatuh ke dalam krisis pangan," ujarnya.
"Ketakutan terbesar saya adalah konflik terus berlanjut – kemudian kita akan menghadapi situasi kenaikan harga pangan yang signifikan, di negara-negara miskin yang sudah berada dalam situasi keuangan yang sangat lemah karena Covid-19," lanjut Torero.
"Jumlah orang yang kelaparan kronis akan tumbuh secara signifikan, jika itu masalahnya," tambahnya.
Lonjakan harga gandum
Dalam beberapa hari terakhir, harga gandum telah mencatat kenaikan tertinggi meski sempat menurun sedikit.
Secara keseluruhan, FAO mengungkapkan, harga pangan telah meningkat sejak paruh kedua tahun 2020, dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada Februari 2022, setelah harga gandum naik hampir sepertiga.
Selain gandum, minyak lobak dan bunga matahari juga naik lebih dari 60 persen selama 2021.
Diketahui, setidaknya 50 negara bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk 30 persen atau lebih pasokan gandum, dan banyak negara berkembang di Afrika utara, Asia, dan timur dekat termasuk di antara yang paling bergantung.
FAO Sarankan Setop Pembatasan Ekspor
Torero pun mengkhawatirkan dampak jika pembatasan ekspor dari Rusia kembali terjadi.Â
"Saat ini, kita tidak bisa mengatakan harga lebih tinggi dari periode 2007-2008, tapi bisa lebih buruk. Jika situasi energi dan pupuk menjadi lebih serius, maka bisa lebih buruk daripada 2007-2008. Jika ditambah dengan potensi pembatasan ekspor, juga bisa semakin buruk," kata Torero.
“Tentu saja Rusia dapat melakukan apa yang mereka inginkan dengan produksi mereka. Jika mereka membatasi ekspor, maka situasinya akan menjadi lebih buruk. Harga akan meningkat lebih banyak lagi," lanjut dia.
Maka dari itu, ia menyarankan, semua negara, tidak hanya Rusia, untuk tidak memberlakukan pembatasan ekspor.
"Saat ini, masalah jangka pendeknya adalah ketersediaan. Kita perlu menemukan cara untuk mengisi kesenjangan (dalam produksi yang disebabkan oleh perang)," imbuh Torero.
"Kami pikir kesenjangan itu bisa dikurangi meski sedikit, tapi tidak 100 persen. Negara-negara juga harus mencoba mendiversifikasi pemasok mereka," paparnya.
Advertisement