Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) untuk produk minyak goreng kemasan di pasaran. Guna mengatasi kelangkaan stok minyak goreng, pemerintah juga bakal segera menghentikan kewajiban pemenuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) bagi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai, kebijakan DMO CPO memang jadi sebab utama kelangkaan minyak goreng.
Dengan adanya regulasi tersebut, eksportir CPO terpaksa harus memenuhi kewajiban pasar domestik sebesar 30 persen terlebih dahulu, baru bisa melepasnya ke pasar luar negeri.
Advertisement
"Tapi yang tidak eksportir memang tidak bisa dapat sawit yang murah, jadi mereka mangkrak (produksi minyak goreng dari CPO)," kata Sahat kepada Liputan6.com, Kamis (17/3/2022).
Eksportir disebutnya enggan melepas CPO ke pasar domestik karena justru merugi. Sebab, harga kekinian CPO jauh di atas ketentuan HET minyak goreng, yang sebelumnya dibanderol maksimal Rp 14.000 per liter.
"Jadi sekarang dengan dibebaskannya itu, yang non-eksportir juga bisa pabriknya langsung jalan memenuhi pasar, karena harga sesuai dengan pasar," ujar Sahat.
Baca Juga
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menggerakkan Produsen
Menurut dia, pencabutan HET minyak goreng sekaligus ketentuan DMO CPO bakal menggerakkan produsen untuk mau menyuplai kebutuhan di pasar domestik.
"Mereka (ketika ada kebijakan HET dan CPO) enggak punya niat produksi. Kalaupun mereka punya niat, enggak mungkin mereka beli harga sawit tinggi, dijual murah, kan enggak benar," paparnya.
"Tapi kalau bareng ekspor itu, rugi dia di domestik bisa ditutup dengan biaya menarik keuntungan dari ekspor," jelas Sahat.
Namun, Sahat belum menjamin harga minyak goreng dengan mekanisme pasar ini bisa setara dengan nilai jual sebelumnya, yang dibanderol Rp 11.500-14.000 per liter untuk pasar ritel.
"Tergantung harga CPO-nya. Kalau minyak sawitnya harganya bagus, rendah, ya rendah. Tapi kalau harganya tinggi, ya tinggi," tutur dia.
Advertisement