Sukses

Fakta Tersembunyi di Balik Makanan dan Minuman dalam Kemasan, Apa Itu?

Studi perbandingan iklan makanan tidak sehat di beberapa kota besar di berbagai negara menunjukkan bahwa anak-anak di Yogyakarta terpapar iklan promosi makanan dan minuman yang tidak sehat

Liputan6.com, Jakarta Konsumen harus dilindungi dari praktik pemasaran makanan dan minuman tidak sehat. Selain itu konsumen juga berhak atas informasi yang jelas dan akurat saat mengkonsumsi produk untuk menjaga keamanan mereka.

Upaya ini antara lain dapat dimulai dari penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Kekhawatiran ini dituangkan di diskusi virtual Twitter Space “Sweet Talk: Tipu-tipu Industri Makanan dan Minuman dalam Kemasan” yang digelar Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam rangka memperingati Hari Hak Konsumen Sedunia.

Project Lead Food Policy CISDI, Ayu Ariyanti, menyatakan diskusi ini berangkat dari masifnya praktik pemasaran industri makanan dan minuman di semua media tanpa batasan waktu dan sering kali menyasar kelompok anak-anak.

“Anak-anak akan cenderung lebih banyak mengkonsumsi makanan dan minuman tidak sehat seiring dengan banyaknya iklan promosi yang mereka lihat,” ujar Ayu dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (21/3/2022). 

Sebagai catatan, angka konsumsi MBDK di Indonesia cukup tinggi. Setidaknya 62 persen anak-anak dan 72 persen remaja mengkonsumsi MBDK setiap minggunya (Laksmi et.al, 2018).

Studi perbandingan iklan makanan tidak sehat di beberapa kota besar di berbagai negara menunjukkan bahwa anak-anak di Yogyakarta terpapar iklan promosi makanan dan minuman yang tidak sehat setiap 4 menit sekali (Kelly et al, 2016). Tingkat kepaparan ini jauh lebih tinggi dari pada anak-anak di yang tinggal di Kuala Lumpur, Shanghai, dan Seoul.

“Konsumsi MBDK di Indonesia sudah ada pada kondisi darurat. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan prevalensi obesitas dan diabetes hingga 2 kali lipat dalam satu dekade. Sehingga, penguatan kesadaran masyarakat menjadi PR bersama. Pemerintah, sebagai garda terdepan, perlu mengawal langkah nyata untuk melindungi kesehatan masyarakat di masa depan,” tambah Ayu.

Pada kesempatan yang sama YLKI yang diwakili oleh Tubagus Haryo Karbyanto sebagai anggota harian YLKI , yang mengangkat isu perlindungan hak konsumen yang harus dijamin oleh negara. Ia menekankan bahwa praktik pemasaran industri makanan dan minuman yang menglorifikasi produk tanpa diiringi peringatan efek konsumsi jangka panjang berpotensi melanggar hak konsumen atas informasi yang benar dan akurat.

“Pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa melindungi konsumen dari potensi pelanggaran ini dengan instrumen pengendalian konsumsi yang komprehensif,” ungkap Tubagus.

Contoh trik promosi yang digunakan oleh pihak industri untuk membuat produknya terlihat lebih sehat adalah dengan menuliskan informasi nilai gizi berdasarkan saran sajiannya, bukan kandungan per kemasannya, padahal satu kemasan mengandung lebih dari satu sajian. Ini menyebabkan masyarakat menganggap kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk tersebut tidak terlalu banyak.

Selain itu, klaim seperti bebas gula atau non-kolesterol yang membuat produk makanan atau minuman terdengar lebih sehat juga perlu dikonfirmasi kembali melalui label informasi nilai gizi dan komposisinya.

Dasar ilmu perilaku dan hubungannya dengan pemilihan makanan dan minuman yang tidak sehat juga dituturkan oleh Co-founder AdvisLab, Choky Ramadhan. Menurutnya, manusia memiliki banyak pertimbangan sebelum mengambil keputusan.

“Dari perspektif ilmu ekonomi perilaku, pemberlakukan cukai dan pemberian informasi tambahan harga akibat cukai pada kemasan minuman berpemanis akan menurunkan motivasi konsumen dalam membeli produk. Bersamaan dengan pemberlakukan cukai, konsumen juga bisa diarahkan untuk memilih produk yang lebih sehat dengan membuat akses makanan-minuman dalam kemasan sulit diperoleh, perbesar tempat menampilkan buah dan sayuran, serta menampilkan informasi mengenai kalori yang lebih jelas,” tambahnya.

Menutup diskusi ini, CISDI kembali menekankan agar inisiatif Kementerian Keuangan tahun lalu terkait usulan implementasi cukai MBDK segera diwujudkan demi pengendalian konsumsi produk dan penguatan kesehatan masyarakat Indonesia sebagai upaya pengendalian konsumsi produk yang berdampak negatif bagi kesehatan ini.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Sederet Fakta Terkait

1. Kebiasaan konsumsi minuman manis oleh anak-anak usia >3 tahun mencapai 91,5 persen (Riskesdas, 2018). Konsumsi MBDK terlalu banyak dalam jangka panjang dapat memicu obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan obesitas meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun dari 10,5 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018) (Riskesdas 2007, 2018). Prevalensi obesitas pada anak usia 5-12 tahun mencapai 18,8 persen dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat obesitas pada anak tertinggi di wilayah Asia Tenggara (WHO).

2. Studi yang dilakukan oleh PKMK UGM menyimpulkan bahwa instrumen kebijakan fiskal berupa cukai MBDK menjadi salah satu pilihan intervensi yang efektif untuk mentransformasi pola konsumsi masyarakat.

Cukai merupakan upaya yang dapat mendorong perubahan perilaku dan membatasi akses produk yang membahayakan konsumen terutama kelompok rentan seperti kelompok berpenghasilan rendah dan anak-anak.

3. Berdasarkan studi modelling pada berbagai tingkat pendapatan di Indonesia menunjukkan bahwa besaran tarif yang efektif agar tujuan pengendalian konsumsi tercapai adalah sebesar 20 persen

Dengan upaya pengendalian yang serius, pemerintah tidak hanya memastikan perlindungan kesehatan masyarakat terpenuhi, dalam jangka panjang terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang kemudian akan mendorong peningkatan produktivitas dan terhindar dari beban kesakitan akibat penyakit-penyakit kronis yang bisa dicegah.