Sukses

Dilema Pembelian Barang di Kementerian, Pilih Produk Dalam Negeri atau Murah?

Sistem pengadaan barang dan jasa oleh kementerian dan lembaga cukup membawa dilema karena memberikan pilihan harga yang beragam. Biasanya produk impor lebih murah.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah karena banyak kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda) hingga BUMN hobi impor. Padahal jika dilihat barang yang diimpor tersebut sudah bisa diproduksi di dalam negeri.

Ekonom INDEF Eko Listyanto menilai, Jokowi marah itu sangat wajar. Memang sudah seharusnya kementerian, lembaga, pemda hingga BUMN tak perlu impor karena sudah banyak produsen dalam negeri yang bisa memproduksi barang yang diimpor tersebut. 

"Alat tulis kantor dan lain-lainnya itu kita punya barangnya. Tidak sulit mencarinya, kertas dan pulpen ini simpel. Jadi Presiden ini sudah tahu dari lama, cuma baru meluapkan kemarahannya itu," kata Eko saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (26/3/2022).

Di sisi lain, Eko tak menampik, sistem pengadaan barang dan jasa oleh kementerian dan lembaga cukup membawa dilema. Dalam sistem lelang, biasanya diambil produk barang dengan harga murah dan kualitas yang sesuai standar kebutuhan.

Sayangnya, dalam hal ini produk Indonesia biasanya memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan produk impor, terutama barang dari China. Sehingga muncul kebingungan dari pemerintah dalam penggunaan barang tersebut.

"Biasanya produk China ini murah karena diproduksi dalam jumlah besar jadi harganya murah. Karena murah ini jadi bisa menang tender. Sedangkan produk UMKM Indonesia ini costnya malah, walaupun produknya kadang lebih bagus, tapi kebanting harga produk luar negeri," tuturnya.

Jika membeli produk lokal, harganya sedikit lebih tinggi dan bisa menimbulkan pertanyaan saat dilakukan audit. Sementara ada produk impor yang kualitasnya sama dengan produk lokal namun harganya lebih murah.

"Di sistem lelang ini kalau ambil harga mahal ini bisa menimbulkan banyak pertanyaan saat diperiksa BPK atau BPKP. Akhirnya yang menang produk impor tanpa mereka sadar, itu mendorong produk impor dan menyebabkan crowding out dan berpotensi menggerakan ekonomi negara lain," tuturnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Pengecualian pada Impor Produk Bahan Baku

Di sisi lain, Eko menilai kemarahan Presiden Jokowi tidak terlepas dari dampak geopolitik global. Tekanan global yang semakin tinggi ini akan berdampak pada kenaikan harga komoditas sejumlah barang impor. Dampaknya anggaran negara bisa bengkak jika Indonesia terlalu mengandalkan produk impor.

"Posisi hari ini tekanan global begitu tinggi, (harga) komoditas naik ini berpotensi pada harga impor yang naik. Implikasinya ini akan menghantam anggaran pemerintah," kata Eko.

Sehingga bila kementerian/lembaga tidak mencari alternatif substitusi bahan baku dari dalam negeri akan berpotensi pada program pemerintah yang berantakan. Sebab harga barang tingkat global lebih mahal dan ini tidak sesuai dengan hitungan pemerintah tahun lalu dalam APBN 2022.

"Hitungan barang dan jasa ini bisa meleset dari kebutuhan seharusnya, karena banyak konten impornya. Mereka kan hitung dengan penyedian yang cepat," kata dia.

Namun harus diakui juga ketersediaan barang dalam negeri masih banyak kendalanya. Salah satunya aspek keberlanjutan pasokan yang masih belum pasti. Lokasi barang dan pemetaan terhadap kebutuhan di beberapa aspek masih belum maksimal.

Daerah tertentu bisa menghasilkan produk pangan. Namun stoknya masih belum mencukupi jika memenuhi kebutuhan nasional, sehingga mau tak mau pemerintah mengimpor produk.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdek.com