Liputan6.com, Jakarta Fakta menunjukkan bahwa gejolak pasokan dan harga (pupuk, pakan dan pangan) di era pandemi melambung jauh melampaui batas psikologi. Turbulensi pasokan dan harga ini belum menunjukkan tanda tanda selesai.
Invasi Rusia ke Ukraina yang belum ada tanda tanda akan segera berakhir memperbesar magnitude turbulensi ini. Selain sebagai pemasok gas, gandum, serealia terbesar, Rusia juga pemasok pupuk terbesar di dunia.
Baca Juga
Demikian halnya Ukraina, merupakan salah satu negara pemasok gandum yang terbesar, sehingga invasi Rusia ke Ukraina dipastikan memicu guncangan pasokan dan harga komoditas tersebut. Ironisnya, para pemimpin dunia seakan tidak berdaya mengendalikan liar dan ganasnya pergerakan harga ketiga komoditas fundamental yang sangat dibutuhkan manusia di kolong planet bumi.
Advertisement
Daya beli terbatas, biaya kesehatan meningkat akibat pandemi, harga komoditas terus melambung akan membentuk keseimbangan baru (new equilibrium), ditandai meledaknya jumlah penduduk miskin, gangguan sosial, ekonomi, politik yang jika tidak termitigasi akan mendorong terjadinya overheating.
Drama melambungnya harga komoditas ini juga diikuti munculnya orang kaya baru, karena mampu memanfaatkan kompetitor yang sedang lemah.
Pupuk Terbatas dan Harganya Mahal
Meskipun pemerintah menyediakan pupuk subsidi, namun faktanya jumlah, jenis, terbatas diperburuk lagi dengan cara membelinya sangat rumit dan bahkan melelahkan. Implikasinya, akses pupuk petani miskin semakin terbatas, sehingga produktivitas dan pendapatan petani miskin terus tergerus.
Pemeriksaan pupuk subsidi yang berlapis mulai audit BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, pemeriksaan oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun kejaksaan, menyebabkan para kios maupun distributor merasa Lelah bahkan setiap saat seperti 'terintimidasi', terkuras energi, waktu dan tidak jarang harus keluar biaya.
Memang pemerintah menyediakan pupuk non subsidi, tetapi harganya sangat mahal, jumlahnya terbatas, dan seringkali tidak tersedia cukup saat puncak musim pemupukan. Implikasinya, tanaman tidak mendapatkan pupuk sesuai enam tepat untuk keperluan pertumbuhan dan produksi. Biaya produksi semakin mahal, diperparah lagi sejak pandemi harga pupuk di pasar internasional melambung.
Itulah sebabnya Pemerintah Korea Selatan bermohon Pemerintah Indonesia untuk membantu mengekspor pupuk urea dengan target volume tertentu. Permintaan tersebut tidak disetujui, karena Pupuk Indonesia lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dalam rangka pencapaian kedaulatan pangan.
Melambungnya harga pupuk non subsidi dan terbatasnya alokasi jenis dan volume pupuk subsidi pasti akan menggerus produktivitas dan produksi pangan nasional utamanya padi, jagung, kedelai, komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, kopi, lada serta produksi komoditas hortikultura baik sayuran maupun buah buahan.
Pemerintah harus take action untuk memitigasi risiko melambungnya harga pupuk di tingkat petani. Jangan hanya senang memungut pajak ekspor tanpa melindungi petani yang saat ini kondisinya terjepit, jatuh dan tertimpa tangga serta tidak berdaya.
Penambahan volume pupuk bersubsidi sejalan dengan peningkatan target peningkatan produksi oleh pemerintah harus segera dilakukan. Tidak ada artinya luas tanam yang besar tetapi produktivitasnya rendah. Kalau pemerintah mensubsidi bahan bakar minyak begitu besar, itu artinya subsidi tersebut lebih banyak dinikmati orang kaya, bukan petani miskin.
Argumennya mereka punya motor, sementara petani hanya memiliki sepeda. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus segera diselesaikan dengan menghapus daftar petani ganda, luas lahan puluhan hektar, alamat nama dan alamat sama, sehingga yang tidak berhak harus dicoret.
Sebaliknya pemerintah harus menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi untuk petani kecil, karena secara simultan pemerintah melaksanakan jaring pengaman sosial (social safety net).Â
Â
Pakan Mahal
Ketergantungan Peternak Indonesia akan importasi bungkil kedelai dan tepung tulang yang harganya terus melambung menyebabkan harga pakan ikan, ternak baik unggas maupun ruminansia makin mencekik.
Biaya produksi yang mahal, sementara harga daging ayam dan telur terus melorot menyebabkan banyak peternak harus menutup usahanya. Kendang ayam pedaging dan petelur saat ini banyak yang gulung tikar, karena harga pakan tidak dapat dibayar dari harga jual produksi.
Kondisinya diperburuk lagi dengan dominasi dua raksasa multinasional penghasil pakan yang mungkin mereka dapat mengendalikan harga dan pasokan pakan, sekaligus harga produksinya.
Kedua perusahaan multinasional tersebut juga mempunyai jaringan pengolahan hasil dan pemasaran yang menggurita, sehingga lebih tahan dalam menghadapi setiap guncangan dalam bisnis peternakan maupun perikanan.
Jalan keluar yang paling ideal adalah dengan memproduksi bahan pakan lokal berbasis bahan baku dalam negeri. Bungkil inti sawit yang selama ini diekspor harus mulai dibatasi, sebagaimana yang dilakukan pemerintah untuk pelarangan ekspor nikel.
Secara bertahap pemerintah dapat memberlakukan domestic market obligation untuk bungkil inti sawit (Carnell palm oil) dan menerapkan pajak ekspor yang lebih tinggi untuk bungkil inti sawit. Pendekatan ini akan mendorong pengembangan pakan produksi dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan bahan pakan konvensional sebelumnya yang bahan baku utamanya diimpor.
Pemerintah akan mendapatkan pajak ekspor dan mampu mengeneralisir lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat di sekitar kebun sawit serta menyelamatkan peternak rakyat dari kebangkrutan.
Presiden Harus Turun TanganÂ
Presiden take action mengendalikan harga dan pasokan pupuk, pakan dan pangan di dalam negeri at all cost, karena menyangkut hajat hidup rakyat miskin yang papa dan tidak berpunya. Ironisnya, harga minyak goreng yang liar tidak kunjung teratasi.
Padahal Indonesia negara produsen CPO terbesar di dunia. Ketidakhadiran dua kali Menteri Perdagangan dalam rapat gabungan dengan komisi 4, 6 dan 7, menunjukkan ada persoalan besar yang belum terselesaikan.
Membangun kedaulatan pupuk, pakan dan pangan berbasis bahan baku lokal untuk menghasilkan pangan dengan harga yang kompetitif, sehingga membuka lapangan kerja dan mencegah terjadinya kebangkrutan masif petani pangan, perkebunan, hortikultura dan peternak unggas maupun ruminansia.
Biaya produksi yang kompetitif dan hasil yang optimal akan mendorong produksi pangan melimpah, sehingga rakyat tidak terlanda gizi buruk seperti saat ini. Pendekatan ini harus didukung kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat banyak, sebagai salah satu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah harus berempati dan bersimpati terhadap rakyatnya yang menderita karena dieksploitasi oleh para pihak yang yang selalu mengutamakan kepentingan sesaat dan sesat mereka. (Gatot Irianto/Advisory Board IFRI Pupuk Indonesia/Peneliti Utama Badan Litbang Pertanian)
Â
(*)
Advertisement