Liputan6.com, Jakarta - Beban masyarakat semakin berat. Setelah diterjang kenaikan berbagai harga bahan pokok, pada tanggal 1 April 2022 pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen ke 11 persen.
PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi atau perdagangan berupa jual beli produk atau jasa kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha maupun pemerintah.
Baca Juga
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, kebijakan tarif PPN 11 persen untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tepatnya Pasal 7 ayat 1.
Advertisement
“Itu sudah menjadi amanat Undang-Undang, bukan dari Kementerian Keuangan. Penjelasan lengkapnya sudah disampaikan Menkeu,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, kepada Liputan6.com, Selasa (29/3/2022).
Dalam acara Bincang Bijak Soal Pajak yang berlangsung pada 23 Maret 2022, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan, naiknya tarif PPN untuk menambah penerimaan negara. Pasalnya, selama pandemi APBN sudah bekerja sangat keras.
“Kenapa ini dilakukan? waktu itu kan kita lihat APBN kerja ekstrim selama pandemi ini kita ingin menyehatkan. Jadi, kita lihat mana mana yang masih bisa space-nya,” kata Sri Mulyani.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), PPN di Indonesia dinilai masih terbilang rendah.
Rata-rata PPN dunia mencapai 15 persen, seperti di Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Islandia, Jermal, Perancis dan lainnya.
“Kalau rata-rata PPN (Pajak Pertambahan Nilai) di dunia itu ada di 15 persen, kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain. Indonesia ada di 10 persen kita naikkan 11 persen dan nanti 12 persen pada tahun 2025,” ujarnya.
Dengan ada kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ini. Maka harga barang dan jasa akan naik karena sifat pajak ini adalah dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.
Artinya jika kita membeli barang atau jasa maka akan langsung dikenai PPN sebesar 11 persen sehingga harga barang dan jasa akan lebih mahal.
Adapun barang-barang yang berpotensi mengalami kenaikan ahrga per 1 April 2022 antara lain:
1. Barang elektronik
2. Baju atau pakaian
3. Sabun dan perlengkapan mandi
4. Sepatu
5. Berbagai jenis produk tas
6. Pulsa telepon dan tagihan internet
7. Rumah atau hunian
8. Motor/mobil atau kendaraan dan barang lainnya yang dikenakan PPN
Tak Semua Barang Kena PPN 11 Persen
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menambahkan, angka PPN 11 persen ini tidak berlaku untuk semua jenis barang. Ada beberapa produk yang justru mendapatkan pembebasan PPN.
"Semua barang mau dipajakin itu tidak betul. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan pelayanan jasa sosial ini diberikan kebebasan PPN. Kita tuliskan di UU dengan jelas," kata Suahasil pada 18 Maret 2022.
Selain itu, pemerintah juga memberikan pengecualian kepada beberapa jenis barang atau jasa tertentu pada sektor usaha tertentu.
Pada jenis barang atau jasa tersebut diterapkan tarif PPN final 1 persen, 2 persen atau 3 persen dari peredaran usaha yang akan diatur dalam PMK."Undang-undangnya ini memungkinkan dan ini akan diperjelas," kata dia.
Melalui kebijakan ini, Suahasil menegaskan pemerintah tidak bermaksud untuk mempersulit masyarakat.
Melainkan dengan UU HPP ini ditujukan untuk membuat peraturan pajak yang lebih transparan dan meningkatkan kepatuhan bagi seluruh wajib pajak dengan tetap mengkoordinir pembangunan dari pajak."Tentu tidak ada niat pemerintah untuk memberatkan masyarakat," kata dia.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PPP, Amir Uskara menyatakan bahwa kenaikan PPN ini membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Kebijakan menaikkan tarif PPN 11 persen itu telah melalui pembahasan panjang.
“Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk meningkatkan rasio pajak yang targetnya sebesar 9,3-9,5 persen dari PDB pada 2022. Di satu sisi kebutuhan anggaran saat pemulihan ekonomi tidak kecil, cukup wajar apabila berbagai upaya dilakukan untuk naikkan target penerimaan pajak,” kata Amir kepada Liputan6.com.
Seiring dengan adanya kebijakan kenaikan PPN, DPR memastikan akan terus memantau pemerintah agar menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, sehingga tidak menambah beban masyarakat.
Waktu Tidak Tepat
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kenaikan tarif PPN jadi 11 persen bakal membuat harga-harga pangan yang kini tinggi semakin melambung saat musim Ramadhan 2022.
Sementara di sisi lain, harga pangan dan komoditas bahan baku seperti minyak goreng hingga daging sapi terus meroket.
"Jika kenaikan tarif PPN dilakukan, maka beban kepada konsumsi rumah tangga bertambah karena momentum Ramadhan, dan naiknya harga pangan dan energi secara kontinu," kata Bhima kepada Liputan6.com.
Dengan berbagai perhitungan ekonomi, ia mencermati kenaikan tarif PPN ini tidak mendesak dilaksanakan saat memasuki Ramadhan. Terlebih dilakukan saat terjadi fluktuasi harga saat ini.
"Bahkan dengan hitung-hitungan harga minyak di atas USD 100 per barel terdapat tambahan penerimaan pajak dan PNBP sebesar Rp 100 triliun-Rp 192 triliun dari selisih harga ICP di asumsi makro USD 63 per barel," bebernya.
Selain konsumsi rumah tangga makin melemah, Bhima mencermati, proyeksi pertumbuhan ekonomi 5 persen di sepanjang 2022 ini pun bakal sulit tercapai akibat tarif PPN membengkak.
Tak hanya itu, kebijakan itu juga akan mengganggu kegiatan ekonomi selama bulan Ramadhan nanti. Bhima menganggap, kenaikan tarif PPN seakan bertentangan dengan diperbolehkannya kembali masyarakat untuk pergi mudik jika sudah mendapat vaksin booster.
"Nanti pengaruhnya ke perilaku masyarakat, mau beli kendaraan bermotor untuk mudik misalnya jadi dibatalkan," ujar dia.
"Penjualan kendaraan bermotor terimbas juga. Atau yang tadinya mau mudik 4 hari jadi dipersingkat waktunya. Psikologis konsumen akan menurunkan standar barang yang dibeli," kecamnya.
Negara Lain justru Turunkan
Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat menilai, kebijakan pemerintah menaikkan PPN menjadi 11 persen per April 2022, akan sedikit bertentangan dengan program menarik investor ke Tanah Air.
Sebab, Vietnam sebagai negara yang juga berada di kawasan Asia Tenggara memilih untuk memainkan kebijakan low rate tax guna memancing minat investor.
"Kenaikan PPN 11 persen akan membuat Indonesia tidak menarik bagi investasi. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Vietnam," ujar Achmad.
Diceritakan Achmad, Menteri Keuangan Vietnam Mr Ho Duc Phoc mengeluarkan kebijakan dengan memangkas tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen.
Dalam keterangannya, Pemerintah Vietnam lebih memilih menurunkan tarif PPN daripada pengurangan pajak penghasilan (PPh).
Dengan alasan, pemotongan PPN akan membantu semua bisnis, bukan hanya mereka yang melaporkan keuntungan. Kebijakan tersebut sudah berlaku sejak 1 Februari 2022.
"Tujuan pemangkasan PPN Vietnam menjadi 8 persen adalah untuk mendorong pertumbuhan di seluruh sektor bisnis. Penurunan tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen sangat membantu bisnis dan rumah tangga," ungkapnya.
Jalan Tengah
Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai rencana pemerintah menaikkan tarif PPN mulai April 2022 menjadi 11 persen sebagai jalan tengah untuk menaikkan pendapatan negara di tengah situasi pandemi COVID-19 yang berkepanjangan saat ini.
Kebijakan pemerintah tersebut juga bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akibat terus merosotnya rasio pajak.
"Kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen ini sudah win-win solution, karena dari 10 persen menjadi 11 persen diharapkan kenaikannya tidak terlalu signifikan. Di sisi lain untuk mengandalkan Pajak Penghasilan (PPh) saat ini juga sudah sulit," ujar Prianto.
Advertisement
Pengusaha Minta Keringanan
Dunia usaha meminta pemerintah untuk menunda pemberlakuan kenaikan tarif PPN sebesar 11 persen di awal April 2022. Hal ini dengan memperhatikan realitas kondisi ekonomi nasional dan global yang saat ini penuh ketidakpastian.
Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang, mengatakan kenaikan PPN ini momentumnya sangat tidak tepat dan kurang mendukung dari situasi dan kondisi ekonomi yang ada.
“Karena masa berlakunya sudah dekat, saat ini pengusaha sedang sibuk membuat kalkulasi perhitungan jika kenaikan PPN tersebut tetap diberlakukan. Kami butuh kepastian segera apakah melalui Peraturan Pemerintah atau sejenisnya, sehingga dunia usaha dapat menyesuaikan sesuai kebijakan Pemerintah,” kata Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang.
Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, menyampaikan dukungan untuk penerapan aturan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini. Ia pun menilai ini sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional.
Namun Arsjad menyampaikan sejumlah saran dari kalangan pengusaha terkait perjalanan penerapan kebijakan baru ini. diantaranya, meminta kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan aktivitas ekonomi strategis lainnga tetap mendapatkan fasilitas pembebasan tarif PPN.
“Selain itu, Kadin juga mendorong agar upaya pemerintah untuk mengenakan PPN final dengan tarif rendah, administrasi yang sederhana di UU HPP untuk segera dilaksanakan untuk membantu pelaku usaha,” terangnya.
Direktur Keuangan PT PGN Tbk, Fadjar Harianto Widodo menjelaskan, PGN akan menyesuaikan harga gas bumi karena adanya aturan PPN sebesar 11 persen yang diatur dalam diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP).
Sesuai UU HPP, tarif PPN 11 persen akan menjangkau obyek pajak baru diantaranya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti gas bumi.
Pemberlakuan ini mengakibatkan komoditas gas bumi menjadi jenis Barang Kena Pajak yang akan dikenakan PPN, termasuk gas bumi yang telah diatur dalam peraturan terkait Harga Gas Bumi Tertentu untuk bidang industri dan ketenagalistrikan.
Kenaikan PPN itu turut berimbas pada sejumlah emiten, termasuk emiten pengelola gerai makanan. Sekretaris Perusahaan PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA), Kurniadi Sulistyomo menyampaikan, secara garis besar kenaikan meski hanya 1 persen berdampak pada perusahaan.
“Dampaknya semua vendor sama supplier sudah ada kenaikan, bahkan sejak awal tahun,” kata Kurniadi kepada Liputan6.com, Selasa (29/3/2022).
Namun begitu, untuk saat ini Kurniadi belum bisa merinci sejauh mana dampaknya bagi perseroan. Dampak keseluruhan baru akan terlihat setidaknya tiga bulan hingga satu tahun implementasi PPN 11 persen. Sehingga perseroan belum akan melakukan penyesuaian yang signifikan.
Presiden Direktur PT Blue Bird Tbk Sigit Djokosoetono menyebut pihaknya sebagai pengusaha di bidang transportasi darat akan terkena imbas dari penerapan PPN ini. Namun, ia meminta kepada pemerintah untuk sektor yang digelutinya ini tak dipungut PPN.
“Ini kami tentunya menunggu agenda strategis pemerintah masukan-mengenai PPN sudah sempat kami sampaikan sebelumnya karena kami berpendapat transportasi umum sebaiknya mendapatkan keringanan terhadap Pajak pertambahan Nilai ini karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” paparnya.
Buruh Siap Demo
Buruh menolak keras kenaikan tarif PPN. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, lonjakan tarif PPN ini tidak ideal di kala daya beli buruh yang saat ini turun hingga 30 persen.
"Tentu buruh menolak ya bersama rakyat kecil, kenaikan PPN 11 persen. Dengan kenaikan itu, pada saat bersamaan daya beli buruh lagi jatuh 30 persen," kata Iqbal kepada Liputan6.com, Selasa (29/3/2022).
Menurut dia, kebijakan peningkatan tarif PPN 1 persen ini tidak sejalan dengan penerimaan upah buruh, yang masih tertahan selama 3 tahun berturut-turut.
"Kalau daya beli turun 30 persen, harga barang plus PPN naik 11 persen, kan itu memukul buruh. Oleh karena itu buruh menolak total kenaikan PPN 11 persen," tegasnya.
Pada saat bersamaan, ia juga menyesalkan sikap DPR RI yang mengabulkan permohonan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen, sebagai turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Buruh menyesalkan sikap DPR RI, kok mengabulkan permohonan kenaikan PPN 11 persen. Turunan revisi uu pajak," ungkap Iqbal.
Buruh juga siap menggelar aksi menuntut kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen, yang berlaku per 1 April 2022 mendatang.
Namun, aksi demo itu baru akan digelar menyusul tuntutan utama mereka terhadap lonjakan harga minyak goreng kepada Menteri Perdagangan.
"Pasti. Kita menunggu dulu perkembangan harga minyak goreng. Karena kan kita memberi tenggat pada Kementerian Perdagangan 1x7 hari," kata Iqbal.
Advertisement