Liputan6.com, Jakarta Kenaikan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) seiring peningkatan jumlah pemudik Lebaran 2022 dinilai bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan subsidi langsung dalam penyaluran BBM.
Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara meyakini jika kebijakan tersebut bisa menjadi solusi utama untuk menyelesaikan masalah penyaluran BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun.
Baca Juga
Dia menilai mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti sekarang sudah menimbulkan terlalu banyak masalah. Salah satu buktinya, pemerintah menambah kuota solar subsidi dari 15 juta kiloliter (kl) menjadi 17 juta kl.
Advertisement
Sedangkan Pertalite yang menjadi BBM penugasan ditingkatkan kuotanya dari 23 juta menjadi 28 juta kl. “Kebijakan pemerintah saat ini yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri,” ujar Marwan melansir Antara, Minggu (1/5/2022).
Pemerintah dinilai tidak perlu membandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara yang bisa produksi minyak dalam jumlah besar.
Pemerintah hanya tinggal menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas setelah mempertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti harga bahan mentah, harga impor crude oil, ditambah biaya pengilangan, biaya penyimpanan.
Belum lagi ada biaya distribusi, margin dan pajak. "Itu menjadi harga keekonomian. Jadi merujuk kemana-mana," katanya.
Harga keekonomian itu bisa dibandingkan dengan harga-harga BBM yang dipasarkan oleh badan usaha selain Pertamina.
Subsidi Masih Dibutuhkan
Harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah pesaing, termasuk Solar subsidi. Harga Solar subsidi mencapai Rp 5.150 per liter sedangkan harga Solar nonsubsidi (Dexlite) Rp 12.950 per liter, dan harga Pertamina Dex Rp 13.700 per liter.
Marwan mengakui masyarakat Indonesia memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar.
Namun bukan dengan mekanisme seperti sekarang yang justru merugikan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan nilainya terus membengkak.
"Negara harus mensubsidi orang yang memang layak mendapat sehingga nanti anggaran APBN untuk mensubsidi orang itu akan lebih rendah ketimbang mensubsidi barang. Kalau barangnya yang disubsidi bisa 2-3 kali lipat," jelas Marwan.
Menurut Marwan, badan usaha juga memiliki hak untuk bertahan dan beroperasi meskipun dibebani untuk menyalurkan BBM penugasan maupun subsidi.
Untuk itu cara terbaik memang membiarkan badan usaha menjalankan operasi tanpa harus terus menanggung beban keuangan.
"Soal berapanya bisa dicarikan angka harga keekonomiannya juga bisa. Yang penting di situ sudah ada margin supaya perusahaan survive, seperti Pertamina. Untuk survive kan harus untung tapi di situ kan ada faktor pajak, pajak daerah, ongkos angkut, dan sebagainya. Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan. Dan subsidinya langsung," kata Marwan.
Advertisement