Sukses

Harga Pertamax Naik, 25 Persen Konsumen Diprediksi Migrasi ke Pertalite

Kenaikan harga Pertamax ini diprediksi bakal turut menimbulkan efek perpindahan konsumsi ke jenis BBM dengan kadar oktan lebih rendah (RON) 90, yakni Pertalite

Liputan6.com, Jakarta Konsumen yang terbiasa menggunakan BBM nilai oktan (RON) 92 untuk bahan bakar kendaraannya, harus legowo dengan kenaikan harga Pertamax per 1 April 2022 menjadi sebesar Rp 12.500-13.000 per liter.

Kenaikan harga Pertamax ini diprediksi bakal turut menimbulkan efek perpindahan konsumsi ke jenis BBM dengan kadar oktan lebih rendah (RON) 90, yakni Pertalite.

Sebab, pemerintah telah menetapkan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) dengan harga Rp 7.650 per liter di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik PT Pertamina (Persero).

Direktur Eksekutif Watch Energy Mamit Setiawan tak menampik akan adanya potensi migrasi konsumen Pertamax menuju Pertalite. Namun, ia memprediksi jumlahnya tidak akan begitu besar.

"Jikapun ada migrasi ke Pertalite saya kira paling tinggi 20-25 persen. Mengingat konsumen Pertalite ini adalah segmented. Jadi dampaknya tidak terlalu besar," ujar Mamit kepada Liputan6.com, Jumat (1/4/2022).

"Pengguna Pertamax yang loyal pasti paham manfaat yang didapatkan dari menggunakan BBM RON tinggi. Selain itu, SPBU swasta harganya juga masih lebih tinggi dari pertamina," dia menambahkan.

 

2 dari 2 halaman

Lebih Murah dari Harga Keekonomian

Secara harga, Pertamina memang memasang harga jual Pertamax lebih rendah dibanding harga keekonomiannya Rp 16.000 per liter. Juga dari produk BBM jenis RON 92 lain milik perusahaan swasta.

Seperti yang ditawarkan Shell Indonesia, yang membanderol produk Shell Super seharga Rp 12.990 per liter. Kemudian untuk BP 92 di SPBU milik BP, dengan harga Rp 12.500 per liter. Lalu Revvo 92 di SPBU Vivo seharga Rp 11.900 per liter.

Lebih lanjut, Mamit meyakini kenaikan harga Pertamax ini tidak akan banyak memberi dampak signifikan kepada masyarakat. Menurut dia, banyak warga bakal menyadari jika kenaikan ini sudah seharusnya dilakukan.

"Kenaikan ini juga masih mempertimbangkan faktor psikologis konsumen dan daya beli, karena Pertamina masih menanggung kerugian dari kenaikan ini. Jadi kenaikan sebenarnya belum ekonomis," tuturnya.