Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari produsen dan importir rokok. Ini secara resmi telah berlaku sejak 1 April 2022 lalu.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Ini mengatur pungutan pajak untuk penyerahan hasil tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan lainnya.
Baca Juga
“Atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh produsen atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir dikenai Pajak Pertambahan Nilai,” tulis pasal 2 ayat 1, dikutip Selasa (5/4/2022).
Advertisement
Pada pasal 3 tertulis, PPN yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau ini dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak.
Tarif pajaknya mengacu pada PPN 11 persen yang berlaku pada 1 April 2022 dan PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku sejak diberlakukannya penerapan tarif PPN sesuai Pasal 7 Ayat 1 huruf b UU PPN.
Sesuai aturan tersebut, besaran pajak atas penyerahan hasil tembakau terutang berdasarkan pembulatan dihitung sebesar 9,9 persen dikali harga jual eceran hasil tembakau untuk penyerahan hasil tembakau yang mulai berlaku pada 1 April 2022.
“(serta) 10,7 persen dikali harga eceran hasil tembakau, untuk penyerahan hasil tembakau yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur Pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,” tulis Pasal 4 ayat 2 huruf b.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dipungut Satu Kali
Informasi, PPN atas penyerahan hasil tembakau ini dipungut satu kali oleh produsen atau importir. PPN atas penyerahan hasil tembakau ini terutang pada saat produsen atau importir melakukan pemesanan pita cukai hasil tembakau.
Produsen dan importir wajib membuat faktur pajak pada saat melakukan pemesanan pita cukai hasil tembakau.
“Pelaksanaan administrasi pemungutan dan pelaporan pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,” tulis pasal 9.
Advertisement
Tak Bebas PPN 11 Persen, Harga Minyak Goreng Tambah Mahal
Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kenaikan tarif ini di tengah kenaikan harga minyak goreng yang bisa sampai 100 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Aprindo Roy N. Mandey mengatakan, dengan kenaikan tarif PPN maka harga minyak goreng semakin mahal mengingat komoditas ini tidak termasuk 11 bahan pokok yang bebas dari PPN.
"Minyak goreng yang termasuk bahan pokok yang dikenakan PPN 11 persen maka potensi bergeraknya harga minyak goreng akan terjadi kembali," tulis Roy dalam keterangan persnya, Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Minyak goreng akan kembali menjadi pendorong kenaikan inflasi, sebagaimana yang telah terjadi selama 2 bulan. Harga minyak goreng di bulan Februari mengalami deflasi hingga -0,11 persen, sedangkan pada bulan Maret menyumbang inflasi sebesar 0,04 persen.
"(Sehingga) berdampak pada peningkatan inflasi yang pasti akan meningkat lagi dari bulan-bulan sebelumnya," kata Roy.
Pengusaha Minta Juknis
Di sisi lain, lanjut Roy, 11 barang kebutuhan pokok yang sebelumnya dikecualikan dari PPN, kini dalam UU HPP diubah dan dijadikan objek pajak. Barang kebutuhan pokok yang dimaksud antara lain beras atau gabah, gula, sayur, buah-buahan, kedelai, cabai, garam, susu, telur, dan jagung.
Namun tarif PPN 11 persen untuk kebutuhan pokok tersebut belum diberlakukan pada 1 April 2022. Sebab barang-barang kebutuhan pokok tersebut telah menjadi objek PPN para pedagang yang menjualnya. Antara lain di pasar tradisional atau pasar rakyat berkewajiban memiliki PKP dengan menerbitkan Faktur Pajak dan melakukan Laporan Pajak PPN setiap bulannya.
"Ini berpotensi perlu tenaga administrasi, yang berdampak menambah biaya yang tentunya akan dikenakan pada harga jual barang pokok dan penting kepada konsumen," tambah Roy.
Untuk itu, Aprindo meminta kepada Pemerintah agar mendefinisikan kembali dengan jelas dalam juklak/juknis. Dalam juklak/juknis tersebut harus dirincikan dan diperluas segala barang-barang kebutuhan pokok dan penting sebagai kebutuhan sehari-hari konsumen untuk tidak dikenakan PPN 11 persen per 1 April 2022. Terutama saat bersamaan dengan momentum bulan suci Ramadan dan menjelang lebaran.
"Hingga saat ini APRINDO bersama berbagai sektor, masih menunggu Juklak/Juknis maupun KMK atas UU HPP/21, untuk definisi detail bahan pokok dan penting (BAPOKTING), diantaranya perubahan atau penambahan jenis barang pokok dan penting yang belum dikenakan PPN 11 persen saat ini," kata dia mengakhiri.
Advertisement