Sukses

Gatot Irianto Membedah Tantangan Besar Badan Pangan Nasional

Keberadaan dan peran Badan pangan Nasional diuji langsung di lapangan saat masyarakat melaksanakan ibadah puasa bulan Ramadhan dan Idul fitri.

Liputan6.com, Jakarta Undang Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012, mengamanatkan pembentukan Badan Pangan Nasional. Pemerintah baru merealisasikan melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021. Delay waktu yang demikian lama, sekitar 9 Tahun, menurut Peneliti Badan Litbang Pertanian/Advisory Board IFRI, Pupuk Indonesia, Gatot Irianto menyebabkan Indonesia kehilangan banyak opportunities dalam mengelola pangan nasional. 

Dalam keterangan tertulisnya, Gatot Irianto menuliskan bahwa terjadinya impor beras yang melebihi kebutuhan, sehingga ratusan ribu ton beras di Bulog tidak layak konsumsi dan harganya jatuh dan harus mengalami kerugian. Beberapa kali peternak unggas baik petelur maupun pedaging dan ruminansia terkapar dan tidak berdaya menghadapi dilemma harga pakan yang melambung tinggi tetapi harga jual ayam potong dan telur anjlok sampai ke titik nadir. 

"Peternak kecil mati dan tidak berdaya untuk bertahan menghadapi ganasnya harga bahan pakan impor. Belum lagi dengan tragedi minyak goreng yang menimbulkan polemic berkepanjangan tanpa ujung di negara produsen crude palm oil terbesar di dunia," tulis Gatot.

"Pantaskah harga minyak sawit kita melambung melebihi negara pengimpor minyak? Ataukah pemerintah akan memilih jalan tidak popular dengan mengimpor minyak goreng seperti Ketika kekurangan beras atau gula?" tanya Gatot. 

Selanjutnya Gatot menyinggung bahwa ujian dan cobaan Badan Pangan Nasional berikutnya adalah Ramadhan dan Idul Fitri 2022. 

1. Uji Nyali Ramadan dan Idul Fitri

Disebutkan oleh Gatot, bahwa keberadaan dan peran Badan pangan Nasional diuji langsung di lapangan saat masyarakat melaksanakan ibadah puasa  bulan Ramadhan dan Idul fitri. Selain butuh nyali ekstra, Badan Pangan Nasional juga harus memiliki terobosan dalam memitigasi gejolak harga bahan pokok yang dipastikan melambung sampai Idul Fitri.

"Faktanya, awal Ramadhan 2 April 2022, harga komoditas pangan pokok beras, gula pasir, jagung, minyak goreng, daging sapi bergejolak takam. Beras naik dibandingkan minggu lalu naik 0,03% menjadi Rp 11 790 per Kg. Gula pasir naik 0,82% menjadi Rp 15 141/kg. Jagung naik 5,69% menjadi Rp 8 948/kg, minyak goreng naik 2,4% menjadi Rp 23 949/kg. Daging sapi naik 2,35% menjadi Rp 130 940/kg," tulisnya.

Selain harganya terkerek naik secara konsisten dan berkelanjutan diperparah lagi dengan pasokan yang terbatas, bahkan beberapa tempat mengalami shortage/langka. Gatot menyebutkan kondisi tersebut yang memicu panic buying di masyarakat, sehingga mereka melakukan pembelian yang berlebihan dan dipastikan akan memicu pergerakan harga semakin brutal. 

"Diperburuk lagi dengan aksi para mafia pangan yang tidak banyak tersentuh hukum, terus dan terus menimbun untuk mengeruk kepentingan sendiri, sesaat dan sesat demi mengeruk keuntungan tanpa batas," tulisnya. 

Turbulensi harga pangan ini, menurut Gatot diprediksi tidak akan berakhir pada Idul fitri, karena harga komoditas bahan pangan, bahan pakan dan pangan dunia juga melambung. Salah satu penyebabnya adalah invasi Rusia terhadap Ukraina dan pandemic Covid yang belum kunjung menjadi endemik.

2 dari 3 halaman

2. Invasi Rusia dan Pandemi Covid 19

Gatot memaparkan Rusia dan Ukraina merupakan dua negara penghasil gandum nomor 3 (setelah China dan India) dan nomor 8 dunia. Produksi gandung China dan India dipastikan lebih banyak untuk konsumsi dalam negeri, sehingga Rusialah pemilik gandum terbesar di dunia, karena siap diekspor. Demikian halnya Ukraina, surplusnya sangat besar, sehingga turbulensi pasokan gandung Ukraina akan mendistorsi pasokan pangan dan pakan berbahan baku gandung di seluruh dunia termasuk Indonesia. 

"Bergejolaknya harga gandung dunia secara langsung akan mengguncang dua sendi bisnis yaitu pangan dan pakan. Pakan akan berdampak terhadap meningkatnya biaya produksi pangan berbahan protein," paparnya. 

Secara simultan, kondisi tersebut menurut Gatot juga berdampak pada bangkrutnya usaha ternak unggas (petelur dan pedaging), ruminansia (besar maupun kecil). Ambruknya peternak rakyat, mahalnya biaya produksi protein akan memperburuk tumbuh dan kembang anak Indonesia/ Dalam jangka Panjang akan menurunkan daya saing bangsa Indonesia di kancah internasional. 

"Sisi ekonominya, biaya produksi protein yang tinggi dan harga komoditas pangan yang tidak terkendali akan memicu terjadinya Inflasi yang tinggi, melemahnya daya beli rakyat miskin, gizi buruk, penyakit dan penyakit yang mempengaruhi tingkat kecerdasan anak," sebutnya.

Lebih lanjut, Gatot menguraikan kalau Rusia juga merupakan eksportir pupuk terbesar dunia, sehingga penghentian ekspor amonium nitrat dari Rusia dipastikan akan mendongkrak harga urea di pasar internasional. Belarusia yang juga produsen bahan baku pupuk potassium (Kalium) papan atas dunia juga akan mendongkrak harganya sejalan dengan meluasnya invasi Rusia ke Ukraina. 

"Pupuk yang mahal dan pasokannya yang terbatas akan menurunkan akses dan daya beli petani untuk berproduksi. Ambruknya sektor pertanian dipastikan berimplikasi ambruknya pemerintahan, karena rakyat akan bergolak. Sejarah menunjukkan bahwa jatuhnya rezim pemerintahan di Indonesia terjadi bersamaan dengan harga pangan mahal dan pasokan terbatas. Pertanyaannya, bagaimana pemecahan masalahnya?"

3 dari 3 halaman

3. Domestikasi produksi pupuk, pakan dan pangan

Dengan berbagai kondisi tersebut, Gatot menyebut pemerintah perlu melakukan perubahan fundamental dari mulai produksi pupuk, pakan maupun pangan berbasis produk dalam negeri. Selain menggerakan ekonomi masyarakat, juga menekan pengeluaran devisa, sehingga kemandirian ekonomi sebagaimana salah satu Nawacita Bung Karno untuk mandiri/berdaulat di Bidang Ekonomi. 

"Kelapa sawit dengan varian produk turunannya harus diberdayakan untuk produksi pupuk, pakan dan pangan yang murah. Komoditas tersebut tidak ada tandingannya di dunia setidaknya sampai saat ini. Produksi pupuk dan pakan sudah dibuktikan oleh anak bangsa bahwa dengan Bungkil Inti Sawit (BIS), Indonesia mampu mandiri dalam produksi pupuk dan pangan," sebutnya. 

Selanjutnya, tugas pemerintah dalam hal ini Badan Pangan Nasional adalah untuk melakukan pengendalian ekspor BIS dan mendorong pengolahan lanjutan BIS menjadi produk pupuk dan pakan. Lompatan ini telah terbukti mampu memandirikan peternak kecil dan besar di dalam negeri lolos dari terjangan badai pakan mahal.

Jika pemerintah mengatur ketersediaan BIS melalui domestic market obligation dan pajak ekspor, maka industri pupuk, pakan dan pangan nasional akan berkembang dahsyat, bahkan mampu bertempur dan  melumat konglomerasi multinasional yang bekerja dengan teknologi yang sudah disruptive yaitu berbahan baku bungkil kedelai, tepung tulang dan jagung.

"Saatnya rakyat indonesia menunggu kiprah dan kinerja Badan Pangan Nasional yang dikomandani Pak Arief Prasetyo Adi. Semoga Mimpi Bangsa Indonesia Berdaulat Dan Mandiri Di Bidang Pangan Menjadi Nyata," tutup Gatot.

 

(*)