Liputan6.com, Jakarta Hasil Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia (BI) menyatakan, perkembangan harga pada minggu pertama April 2022 tetap terkendali dan diperkirakan inflasi sebesar 0,68 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm). Secara tahun kalender sebesar 1,89 persen (ytd), dan secara tahunan sebesar 3,20 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menyatakan, komoditas utama penyumbang inflasi April 2022 sampai dengan minggu pertama yaitu minyak goreng sebesar 0,24 persen secara mtm. Diikuti bensin 0,18 persen secara mtm, daging ayam ras 0,08 persen secara mtm.
Baca Juga
Selanjutnya, bahan bakar rumah tangga sebesar 0,04 persen mtm, cabai merah dan telur ayam ras masing-masing sebesar 0,03 persen mtm, sabun detergen bubuk/cair sebesar 0,02 persen mtm. Kemudian, daging sapi, bawang putih, tempe, jeruk, bayam, kangkung, ayam goreng, dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,01 persen mtm.
Advertisement
"Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode ini yaitu tomat -0,02 persen secara mtm dan angkutan udara -0,01 persen secara mtm," Kata Erwin dalam keterangannya, Senin (11/4).
Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat.
"BI juga terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut," tandasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Beruntung! Inflasi Indonesia Tak Menggila seperti AS dan Turki
Badan Pangan Nasional / NFA (National Food Agency) berupaya untuk terus jaga inflasi pangan Indonesia, sebagai langkah konkrit wujudkan ketahanan pangan nasional.
“Inflasi di dalam negeri masih relatif terjaga yaitu diangka 2,6 persen, masih relatif normal jika dibandingkan beberapa negara lain seperti Amerika Serikat 7,9 persen, Uni Eropa 7,5 persen, Turki 54,4 persen yang kian merangkak naik," kata Kepala Badan Pangan Nasional/NFA Arief Prasetyo Adi, dikutip Minggu (9/4/2022)
Arief menambahkan invasi Rusia-Ukraina memang berdampak pada komoditas pangan global, namun demikian Inflasi Indonesia masih terjaga dengan baik.
Pemerintah berkomitmen untuk menjaga inflasi di kisaran 2-5 persen agar tidak memberatkan masyarakat. Hal ini pun sejalan dengan yang diamanahkan Presiden Joko Widodo untuk jaga Ketahanan Pangan Indonesia.
Kendati begitu, dia tak menampik kenaikan harga pangan secara global memang sudah terjadi sebelum satu bulan belakangan ini.
“Seperti hari ini memang kondisi di global demikian, kemudian solusinya apa. Nah solusinya ini gak bisa parsial, harus komprehensif dari seluruh stakeholder pangan. Kondisi ini tentu menjadi perhatian pemerintah, kebijakan subsidi kepada produsen pangan untuk beberapa komoditas sudah dilakukan seperti subsidi jagung dan kedelai,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi global ini kesempatan untuk berdaulat mengoptimalkan produksi di dalam negeri, sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk menciptakan ketahanan ekonomi dengan menjaga ketahanan pangan, importasi sebagai alternatif dan pelengkap stok pangan jika produksi dalam negeri belum mencukupi.
Advertisement
Inflasi Indonesia Diprediksi Tak Kena Imbas Kondisi Global
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut inflasi Indonesia tak akan meningkat tajam. Ini merespons kondisi global yang menantang termasuk dampak perang Rusia-Ukraina.
Wimboh membeberkan, sejumlah tantangan yang dihadapi dunia saat ini. Mulai dari perang Rusia-Ukraina, hingga kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Dengan kenaikan ini, tingkat inflasi akan terdampak dan perlahan meningkat.
“Indoneisa mudah-mudahan lah toh kalau kita menerima spillover dari kondisi tersebut kita perkirakan mudah-mudahan tidak lebih dari 4 persen. Sekarang masih dibawah 3 persen, jadi tidak ada masalah,” katanya saat memberikan Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Jumat (8/4/2022).
Ini jauh lebih baik ketimbang tingkat inflasi yang dihadapi oleh negara lain. sebagai contoh, Amerika Serikat yang tercatat mengalami inflasi hingga 7,5 persen. ini disebut Wimboh pertama kali dalam sejarah AS mencatatkan inflasi setinggi ini.
“Dan juga Eropa bahkan Turki sudah diatas 50 persen,” katanya.
Ia menyebut, yang memengaruhi ini, adalah sejumlah tantangan yang terjadi di dunia. Perang Rusia-Ukraina, kata Wimboh memperparah keadaan karena keduanya termasuk pemasok energi dan komoditas terbesar di seluruh penjuru dunia.
“Memang ini pasti distribusi terganggu, bahkan pasca covid-19 pun (sudah) terganggu. Kapal-kapal (logistik) tidak siap, sehingga kita sudah mulai bangkit ekonominya, (tapi) barang-barang kurang karena distribusinya terganggu, ditambah perang lagi,” katanya.
Akibat perang ini, harga sejumlah komoditas dan energi pun mengalami kenaikan. Terbaru, pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertamax ke angka Rp 12.500 perliter.
“Tidak heran kalau kemarin pemreitnah menaikkan harga pertamax jadi Rp 12.500 karena beban ini gak bisa dibebankan ke pemerintah semua,” katanya.
“Hal ini tantangan dan ini kedepan pasti pengusaha terganggu juga. Minyak goreng, kalau ini bukan karena impor ya tapi karena distribusi domestik,” imbuh dia.
Cegah Inflasi Meroket, Pemerintah Diminta Stabilkan Harga Pangan
Geopolitik Rusia-Ukraina mulai terasa di Indonesia. Meski tidak berdampak langsung, namun gangguan rantai pasok global salah satunya soal kenaikan inflasi menjadi ancaman Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menilai pemerintah masih memiliki peluang untuk menahan gejolak kenaikan harga pangan di Indonesia. Syaratnya pemerintah harus bisa memastikan tidak adanya manipulasi harga pasar dari para pemain nakal.
"Pemerintah harus memastikan tidak ada manipulasi harga pasar dari oknum-oknum di sepanjang jalur distribusi," kata Hariyadi dalam webinar bertajuk: Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu?, Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Menurutnya, memastikan kelancaran dan distribusi suplai pangan sangat penting. Khususnya bagi daerah yang krisis dari sisi jumlah penduduk. Kelancaran dan keterjangkauan biaya logistik pangan dapat menjadi penentu wajar atau tidaknya kenaikan harga pangan nasional.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan ada keseimbangan terhadap volume penawaran dan permintaan pangan nasional. Impor bahan pangan sebaiknya dilakukan ketika benar-benar dibutuhkan atau ketersediaan di dalam negeri yang tidak mencukupi. Alasannya, hal ini bisa berimplikasi pada pembenahan atau perbaikan tata kelola dan pencatatan suplai pangan nasional.
"Jika tiga hal tadi bisa dilakukan secara berkala oleh pemerintah dengan disiplin, kami cukup yakin inflasi pangan nasional bisa dicegah dna dikendalikan dengan baik tanpa membebani masyarakat," kata dia.
Advertisement