Sukses

Sudah Tak Langka, Kapan Harga Minyak Goreng Bisa Turun?

minyak goreng curah pun juga banyak dimainkan agar terjadi kenaikan harga. KPPU menyoroti banyak spekulan yang memainkan harga minyak goreng curah.

Liputan6.com, Jakarta - Kelangkaan stok minyak goreng perlahan sudah mulai teratasi pasca pemerintah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) dan kewajiban pemenuhan pasok pasar domestik (DMO) untuk produsen minyak sawit mentah (CPO).

Namun, secara harga kini masih melonjak, buntut dari dilepasnya nilai jual minyak goreng di pasaran.

Lantas, sampai kapan harga minyak goreng masih tinggi di pasaran?

Direktur Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Gopprera Panggabean mengatakan, pihaknya yang bertugas mengusut kelangkaan stok minyak goreng dan CPO belum bisa memastikan hal tersebut.

"Kita enggak bisa (memastikan). Harga CPO sampai saat ini masih tinggi. Paling tidak pergerakan masih cukup tinggi," ujar dia dalam sesi teleconference, Senin (11/4/2022).

Melihat situasi terkini, Groppera beranggapan HET minyak goreng curah di kisaran Rp 14.000 per liter saja masih lebih tinggi dibanding periode sebelum kenaikan harga.

"Kalau ditanya sampai kapan (minyak goreng mahal), harga CPO masih cukup tinggi juga. Tapi yang jadi bagian kita soal kelangkaan stok tadi, itu juga banyak faktor," kata Groppera.

Bahkan, minyak goreng curah saja kini banyak dimainkan agar terjadi kenaikan harga. Groppera pun menyoroti banyak spekulan yang memainkan harga minyak goreng curah jadi seperti kemasan sederhana/premium.

"Itu di tingkat pengecer bawah, itu banyak terjadi. Dari bocoran yang kita terima dari banyak berita, minyak curah bahkan ada yang di-repacking jadi minyak goreng kemasan. Itu dilakukan para spekulan yang harapkan keuntungan berlipat dari minyak goreng curah," tuturnya.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

KPPU Curiga Harga Minyak Goreng Dimainkan Pengusaha Besar

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan adanya kesepakatan antar para pengusaha besar dalam mempermainkan produk minyak goreng kemasan di pasaran.

"Seperti kita ketahui, pergerakan harga minyak goreng ini antara pelakunya sama. Kenaikan harga minyak goreng ini merata dari Sabang sampai Merauke. Tentu akan sulit dilakukan oleh pelaku industri kecil dan menengah, pasti yang punya power," kata Ketua KPPU Ukay Karyadi dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (31/3/2022).

Kecurigaan ini muncul tatkala harga minyak goreng serentak bergerak naik dari Rp 12.000 per liter menjadi Rp 20.000 per liter pada akhir tahun lalu.

"Pada waktu itu pemerintah intervensi melakukan kebijakan HET (harga eceran tertinggi). Pada saat itu juga mereka kompak hilang, mengurangi kontribusi di pasar, barangnya relatif langka," ujar Ukay.

Ketika HET untuk minyak goreng kemasan dicabut, produk tersebut serta merta langsung banjir lagi di pasar. Tapi, harganya juga melonjak naik dari sebelumnya Rp 20 ribu per liter di akhir 2021, menjadi kisaran Rp 25 ribu per liter.

"Mereka kompak lah. Ini yang sering katakan, sinyal kartel seperti itu," tegas Ukay.

Menurut dia, jika kenaikan itu hanya dilakukan oleh salah satu perusahaan, tentu dia akan kalah bersaing dengan perusahaan lain yang masih menahan harga minyak goreng.

"Ini kompak, sebab kalau dia naik sendiri dia enggak laku dan diambil alih oleh pesaingnya," sebut Ketua KPPU Ukay Karyadi.

 

3 dari 3 halaman

Sinyal Kartel

Ukay berkesimpulan, pengusaha besar minyak goreng berani menaikan harga karena produk jualannya merupakan kebutuhan pokok yang bersifat elastis. Artinya, berapapun harga yang ditawarkan akan dibeli konsumen.

"Tentunya harus kompak, karena lagi-lagi kalau enggak kompak, kalau cuman sendiri, kan percuma. Kenaikan harganya relatif berbarengan, kami catatkan sebagai sinyal kartel," ungkit dia.

Dugaan tindak kartel tersebut semakin kuat saat pemerintah mencabut kebijakan HET minyak goreng. Putusan itu langsung disambut pengusaha, yang berbarengan langsung membanjiri pasar dengan mematok harga sangat tinggi.

"Kenapa kompak, struktur pasar oligopoli, dan tidak banyak pemainnya. Pelaku usaha minyak goreng ada 8 kelompok besar dengan konsumen 270 juta orang lebih," pungkas Ukay.Â