Liputan6.com, Jakarta Kesenjangan gender yang masih belum tercipta hingga saat ini menyebabkan pekerja perempuan mengalami ketertinggalan dibanding laki-laki. Banyak diskriminasi yang terjadi, dari upah hingga pekerja utama sektor pertambangan.
“Menurut data BPS Agustus 2021, jumlah pekerja menurut lapangan pekerja utama sektor pertambangan dan penggalian bagi perempuan masih tertinggal jauh dari laki-laki. Jumlah pekerja perempuan hanya sekitar 578.000, sementara laki-laki 996.000,” ujar Menteri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam acara virtual yang bertajuk Perempuan-Perempuan di Dunia Tambang, Senin (18/4/2022).
Tidak hanya tertinggal dari segi jumlah, katanya, bahkan diskriminasi pun terjadi dari segi upah kerja yang didapatkan.
Advertisement
“Menurut data BPS 2021, rata-rata upah pekerja perempuan di sektor ini hanya sekitar Rp 3 juta. Sementara upah laki-laki, sekitar Rp 3,7 juta,” ungkapnya.
Seperti yang dikatakannya dalam kesempatan tersebut, kesetaraan gender masih belum tercapai hingga saat ini.
Dia membeberkan, “Perempuan masih tertinggal secara aksesbilitas, persamaan peran dalam pembangunan, hingga belum menerima manfaat pembangunan yang sama dengan laki-laki. Hal ini bukan merupakan asumsi belaka. Berbagai indeks dan data masih menunjukkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.”
Hak Asasi
Padahal kesetaraan gender merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah sepatutnya diprioritaskan dalam setiap sektor pembangunan. Mengingat, jumlah perempuan di Indonesia hampir mengisi dari setengah populasi bangsa.
Namun perlu dicatat, kesenjangan itu terjadi bukan karena para perempuan lemah, tetapi berkaitan dengan budaya patriarki bangsa Indonesia sendiri.
“Kesenjangan dan kerentanan perempuan yang terjadi tidak disebabkan karena dirinya lemah, melainkan karena konstuksi sosial yang saat ini berkembang di Indonesia sangat kental dengan budaya patriarki. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi tertinggal dan mengalami diskriminasi dalam berbagai sektor pembangungan,” tuturnya.
Seperti yang diketahui bersama, salah satu perbedaan dari seorang perempuan adalah mereka memiliki kebutuhan khusus. Sementara kebutuhan tersebut tentu harus terpenuhi.
Menteri PPPA mengatakan, “Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus baik secara fisiologis, seperti dapat datang bulan, hamil, dan menyusui, sehingga diperlukan strategi khusus dan spesifik demi memenuhi kebutuhan tersebut.”
Oleh karena itu, terkadang hal tersebut yang menjadi permasalahan hingga menyebabkan masih terjadinya perang gender di Indonesia sampai saat ini.
“Kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan tersebut seringkali menjadi hambatan apabila dirinya ingin memilih fungsi tertentu, terutama di bidang sains, teknologi, engineering, yang masih dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, seperti industri pertambangan,” terangnya.
“Padahal, kita tidak boleh memberikan label gender pada pekerjaan apa pun. Menjadi tugas kita semua untuk memastikan semua sektor dan seluruh bidang pekerjaan menjadi ramah perempuan,” lanjutnya.
Advertisement
Perempuan Punya Kebutuhan Khusus
Perlu digarisbawahi, pengarusutamaan gender di tempat kerja nyatanya bukan sekadar kepentingan perempuan.
Sebab, sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2020 menunjukkan adanya kolerasi terhadap kemajuan perusahaan dengan upaya pengarusutamaan gender di Indonesia. Tidak hanya itu, upaya tersebut juga memberikan keuntungan bagi perusahaan berupa peningkatan produktivitas dan kinerja pegawai, demikian juga peningkatan profit.
Berdasarkan hal-hal tersebut, sudah sepantasnya pembangungan di segala sektor mengedepankan prinsip keseteraan dan upaya-upaya pengarusutamaan gender termasuk dalam sektor pertambangan.
“Dengan demikian, marilah kita saling mendorong dan bersinergi untuk mendorong tercapainya upaya pengarusutamaan gender di sektor pertambangan,” pungkasnya.
Reporter: Aprilia Wahyu Melati