Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 hampir satu poin persentase penuh, dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen. Perubahan ini menyusul dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap ekonomi dunia.
Dilansir dari CNBC International, Selasa (19/4/2022) Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan faktor terbesar dalam penurunan adalah kontraksi proyeksi ekonomi 4 ,1 persen di seluruh Eropa dan Asia Tengah.
Baca Juga
Faktor lain di balik perlambatan pertumbuhan ekonomi pada Januari 2022 termasuk tingginya biaya makanan dan bahan bakar yang ditanggung oleh konsumen di negara maju di seluruh dunia.
Advertisement
Bank Dunia sedang "mempersiapkan tanggapan krisis yang berkelanjutan, mengingat banyaknya krisis," ungkap Malpass.
"Selama beberapa minggu ke depan, saya berharap untuk berdiskusi dengan dewan kami, dan bantuan respons krisis selama 15 bulan sekitar USD 170 miliar untuk April 2022 hingga Juni 2023," bebernya.Â
Tingginya sebagian harga komoditas terjadi setelah negara Barat memberlakukan sanksi terhadap sektor energi Rusia, yang telah menaikkan harga minyak dan gas di seluruh dunia.
Gangguan ekspor pertanian dari Ukraina juga disebut sebagai faktor yang mendorong harga menjadi lebih tinggi.
Awal bulan ini, Bank Dunia memproyeksikan PDB tahunan Ukraina akan turun 45,1 persen karena konflik yang dihadapi negara itu.
Padahal sebelum konflik, para analis telah memperkirakan PDB negara itu akan meningkat tajam di tahun-tahun mendatang.
Ekonomi Rusia juga diramal bakal menghadapi dampak berat dari konflik.Â
Pada awal April, Bank Dunia memperkirakan PDB Rusia akan turun 11,2 persen tahun ini karena sanksi ekonomi dari negara Barat.
Perang Rusia-Ukraina Memangkas Pertumbuhan Perdagangan Global Jadi 3 Persen
Selain Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga menurunkan perkiraan pertumbuhan perdagangan global tahun 2022 ini menjadi 3 persen dari 4,7 persen karena perang Rusia-Ukraina.Â
Badan yang berbasis di Jenewa itu juga memperingatkan potensi krisis pangan yang disebabkan oleh lonjakan harga.
"Gema ekonomi dari konflik ini akan meluas jauh melampaui perbatasan Ukraina," kata Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari US News.
Laporan dari pengawas perdagangan global mengatakan bahwa konflik, yang sekarang sudah memasuki minggu ketujuh, telah merusak ekonomi dunia pada titik kritis ketika pandemi Covid-19, dan lockdown China secara khusus terus membebani pemulihan.
"Sekarang jelas bahwa pukulan ganda dari pandemi dan perang telah mengganggu rantai pasokan, meningkatkan tekanan inflasi dan menurunkan ekspektasi untuk output dan pertumbuhan perdagangan," ujar Ngozi Okonjo-Iweala.
Sementara itu, WTO memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada 2023 akan naik hingga 3,4 persen, mencatat bahwa perkiraan 2022 dan 2023 kurang pasti dari biasanya karena ketidakpastian dari konflik/masalah geopolitik.
Okonjo-Iweala juga memperingatkan potensi krisis pangan karena gangguan ekspor dari Ukraina dan Rusia.
Diketahui bahwa kedua negara tersebut merupakan pemasok utama biji-bijian dan komoditas lainnya, dimana habatan ekspor dapat berdampak pada pasokan di negara-negara miskin, termasuk sekitar 35 importir Afrika.
"Inilah mengapa kita perlu bertindak dan bertindak tegas dalam masalah pangan ini untuk menghindari masalah pangan," kata Ngozi Okonjo-Iweala, mengutip perlunya sistem pemantauan yang lebih transparan dan potensi pelepasan stok penyangga untuk menurunkan harga.
Advertisement
Ekonom : Perang Rusia-Ukraina Bisa Bikin Ekonomi Eropa Tidak Kembali Normal
Selain itu, ekonom Eropa juga melihat konflik Rusia-Ukraina dan serangkaian sanksi ekonomi akan menyebabkan perubahan yang jauh lebih besar bagi ekonomi dan pasar Eropa daripada krisis sebelumnya seperti pandemi Covid-19.
 Kepala Riset Makro Global ING, yakni Carsten Brzeski mencatat pekan lalu bahwa Eropa sangat berisiko kehilangan daya saing internasional akibat perang di Ukraina.
"Untuk benua ini, perang lebih merupakan pengubah permainan daripada pandemi yang pernah ada. Saya tidak berbicara hanya dalam hal kebijakan keamanan dan pertahanan tetapi terutama tentang seluruh ekonomi," kata Brzeski, dikutip dari CNBC International.
"Zona euro sekarang mengalami penurunan model ekonomi fundamentalnya, yaitu ekonomi berorientasi ekspor dengan tulang punggung industri besar dan ketergantungan yang lebih tinggi pada impor energi," bebernya.
Setelah mendapat manfaat dari globalisasi dan pembagian kerja dalam beberapa dekade terakhir, zona euro sekarang harus meningkatkan transisi hijau dan mengejar otonomi energi, sementara pada saat yang sama meningkatkan pengeluaran untuk pertahanan, digitalisasi, dan pendidikan.
Brzeski mencirikan ini sebagai tantangan yang "dapat dan benar-benar harus berhasil."
"Jika dan ketika itu terjadi, Eropa harus diposisikan dengan baik. Tetapi tekanan pada keuangan dan pendapatan rumah tangga akan tetap besar sampai di sana. Sementara laba perusahaan akan tetap tinggi," jelasnya.
"Eropa menghadapi krisis kemanusiaan dan transisi ekonomi yang signifikan. Perang sedang berlangsung di 'keranjang roti' Eropa, area produksi utama untuk biji-bijian dan jagung. Harga pangan akan naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi yang lebih tinggi di negara maju bisa menjadi masalah hidup dan mati di negara berkembang," pungkas Brzeski.