Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, banyak negara memiliki perhatian terhadap kesetaraan gender. Hal ini terlihat dari sudah banyak perempuan yang membuktikan dirinya layak dan pantas untuk mengemban tugas dan wewenang yang biasanya dilakukan laki-laki.
Misalnya, pada forum Menteri Keuangan dan Bank Sentra Dunia di Washington DC yang dipimpin oleh para perempuan dari berbagai negara. Antara lain Managing Director IMF Rustalina sebagai pemimpin rapat dan Menteri Keuangan Spanyol Nadia. Presentasi rapat pagi ini juga dilakukan FSB Ral Bernard dan perwakilan IMF lainnya yang juga perempuan.
"Jadi 4 perempuan hari ini bicara ekonomi dunia dan bagaimana dunia mengelola keuangan di tengah geopolitik yang membuat harga energi dan pangan melonjak tinggi sehingga bisa mengancam pemulihan ekonomi," kata Sri Mulyani di Washington DC dalam acara Bincang Kartini Masa Kini, Kamis (21/4/2022).
Advertisement
Sri Mulyani mengatakan secara historis, dunia keuangan biasanya didominasi oleh laki-laki. Jarang perempuan yang memiliki jabatan penting dalam hal keuangan. Namun, saat ini stigma buruk yang melekat pada perempuan perlahan mulai terbantahkan. Banyak perempuan yang menjadi menteri keuangan dan gubernur bank sentral di berbagai negara dunia.
"Banyak sekali sekarang pejabat keuangan yang perempuan. Ada menteri keuangan pertama di Amerika Serikat, Gubernur Bank Sentral di Eropa, Menteri Keuangan di Spanyol, Kanada, India dan Menteri Keuangan Indonesia juga perempuan," kata Sri Mulyani.
Artinya kata dia, saat ini sudah banyak perempuan yang terbukti mampu menduduki jabatan yang biasanya hanya dikerjakan oleh laki-laki. Melakukan tugas-tugas penting yang selama ini dipersepsikan sebagai pekerjaan yang selalu dipegang laki-laki.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Fenomena Perempuan Tidak Pantas
Menurutnya, persepsi yang terbangun dan diamini sejak dulu, sebuah pekerjaan atau aktivitas dianggap bukan untuk perempuan. Walaupun dikerjakan perempuan muncul anggapan perempuan tidak mampu. Kalau ternyata mampu dikerjakan dengan baik, maka dianggap perempuan tidak pantas melakukan pekerjaan itu.
"Ini salah satu kendala yang luar biasa waktu kita bicara pemberdayaan perempuan. Banyak hal dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik muncul atau dipatrikan pemikiran ini bukan pekerjaan perempuan atau perempuan tidak pantas, tidak boleh, tidak mampu mengerjakan hal tersebut," tuturnya.
Fenomena ini pun tidak hanya terjadi di Tanah Air, tapi merata di seluruh dunia. Akibatnya perempuan harus bekerja lebih keras untuk memperjuangkan yang menjadi cita-cita dari persepsi, norma, budaya dan bahkan interpretasi agama.
"Ini memberikan batasan mengenai yang dianggap bisa-tidak bisa, boleh-tidak boleh bagi perempuan," katanya.
Padahal kalau ada perempuan yang melakukan itu dan dilakukan dengan baik, seluruh persepsi tersebut akan terbantahkan. Untuk itu dia meminta para perempuan memiliki cita-cita yang tinggi dan mendobrak stigma yang terlanjur melekat. Ambisi yang tinggi juga harus diiringi dengan mengisi kompetensi, ilmu pengetahuan dan keahlian. Terpenting karakter dan sikap
"Jadi jangan gentar, jangan takut. Kendala ini bukan sesuatu yang tidak bisa didobrak," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Sejarah Hari Kartini yang Wajib Kita Ketahui
Di Indonesia setiap tahunnya tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Hari Kartini merupakan hari untuk mengenang jasa Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan perempuan dan pejuang emansipasi wanita di Indonesia.
Seperti yang diketahui, R.A. Kartini sangat dikenal di Indonesia sebagai pahlawan yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Wanita yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, ini dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan antara wanita dan pria di Indonesia.
Semasa hidupnya, R.A. Kartini merasa banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu di mana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan.
Dikutip laman Kemdikbud, Rabu (20/4/2022), R.A. Kartini lahir dari keluarga bangsawan dari seorang ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati Jepara dan Ibunya bernama M.A. Ngasirah.
Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Di sana R.A. Kartini belajar bahasa Belanda. Lantaran tradisi ketika itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.
Disinilah sejarah perjuangan R.A. Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda.
Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa. Lalu timbulah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu memiliki status sosial yang amat rendah.
Â
Memiliki Perhatian pada Emansipasi Wanita
R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda.
Di usinya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.Â
Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Buku-buku bertuliskan Belanda tersebut membuat pikiran Kartini semakin terbuka dan semakin maju.
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Â
Advertisement