Liputan6.com, Jakarta - Larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan produk minyak goreng akan berdampak pada harga dalam negeri dan Internasional. Apalagi, Indonesia sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai 28 April 2022. Kendati begitu, aturan lengkapnya belum turun hingga saat ini.
Baca Juga
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institute Ronny P Sasmita pelarangan ekspor minyak goreng berdampak pada tingginya harga internasional. Sementara, harga di dalam negeri akan anjlok.
Advertisement
"Jika Indonesia justru melarang ekspor CPO, dengan status sebagai negara produsen kelas wahid, maka supply CPO global akan tertekan dan akan semakin meningkatkan harga global komoditas CPO," kata dia dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Selasa (26/4/2022).
"Walhasil, jika harga CPO domestik mendadak turun drastis karena kelimpahan supply, maka akan terdapat disparitas harga dalam negeri dengan harga internasional yang membuka peluang moral hazard, yakni penyelundupan CPO," terangnya.
Ia memandang dengan harga internasional yang berpeluang naik drastis di saat harga domestik yang justru tertekan, produsen-produsen akan kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan dari perdagangan CPO global.
Sementara itu juga berpeluang mendorong oknum-oknum produsen untuk melakukan lobby-lobby kotor dengan pejabat agar ekspor ilegal bisa dilakukan.
"Jadi kebijakan pelarangan ekspor CPO secara mendadak dan menyeluruh justru akan membuka peluang moral hazard bukan saja bagi pelaku ekspor CPO ilegal selama ini, tapi juga bagi produsen-produsen yang kehilangan kesempatan untuk mendapat cuan besar di pasar global," tuturnya.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kehilangan Devisa
Di samping itu, ia menilai dampak lainnya Indonesia akan mendadak kehilangan devisa ekspor dari CPO. Padahal, ini merupakan salah satu sumbangan terbesar ke kas negara.
"Pemerintah justru menekan peluang pendapatan negara dari harga CPO global yang tinggi di satu sisi di saat produsen-produsen CPO nasional juga kehilangan kesempatan untuk mencatatkan keuntungan besar di sisi lain, yang kemudian memukul pendapatan para petani sawit sebagai imbas lanjutannya," katanya.
Kemudian, kebijakan ini juga dinilai sebagai imbas dari tata kelola minyak goreng yang tak kunjung diselesaikan. Dimana menyebabkan harga minyak goreng tak kunjung turun.
Ia menyarankan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) seharusnya ditegakan berdasarkan data yang jelas atas kebutuhan bahan baku minyak goreng domestik. Kemudian dikawal dan diawasi pemenuhannya secara ketat.
Â
Advertisement
Keseimbangan
Sehingga harapannya bisa menciptakan keseimbangan antara kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri. Dengan peluang maksimalisasi keuntungan produsen di pasar global setelah memenuhi kuota domestik.
"Dengan begitu, harga CPO domestik bisa dimoderasi, harga tandan segar untuk petani bisa dikelola secara moderat, dan peluang keuntungan produsen dari harga pasar internasional tetap bisa dibukukan demi meningkatkan atau setidaknya mempertahankan pendapatan negara dari ekspor CPO," katanya.
Ia mengaku langkah ini bukan langkah mudah, tapi pemerintah perlu kebih bijak menyikapi kenaikan harga minyak goreng.
"Alias tidak grasak-grusuk dengan mendadak melarang secara menyeluruh ekspor CPO yang justru sangat kontraproduktif pada ekosistem dan tata kelola minyak goreng nasional," tegasnya.
Harga Anjlok
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institute Ronny P Sasmita menyampaikan ekspor CPO ini akan langsung membanjiri stok dalam negeri. Namun di sisi lain, akan membuat harga bahan baku minyak goreng ini hancur.
"Tentu larangan ekspor CPO akan segera membajiri pasar dalam negeri dengan bahan mentah minyak goreng, tapi akan membuat harga CPO domestik mendadak hancur, karena supply CPO akan sangat berlimpah," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (26/4/2022).
"Mengingat begitu besarnya produksi CPO domestik Indonesia yang berstatus sebagai produsen CPO terbesar dunia saat ini," imbuh dia.
Ronny memandang suplai yang terlalu berlimpah justru tak baik untuk pasar CPO dan segala produk turunannya yang dihasilkan di dalam negeri.
Ia memandang pemerintah mulai terbiasa dengan intervensi pasar yang dinilainya kurang terukur. Ia mengacu wacana aturan larangan ekspor CPO dan penetapan harga eceran tertinggi sebelumnya.
"Setelah gagal dengan kebijakan HET minyak goreng, kini pemerintah malah melarang seluruh ekspor CPO. Bukan tanpa preseden. Pemerintah pernah melakukan intervensi dengan melarang secara mendadak ekspor batu bara beberapa waktu lalu, tapi hasilnya tak terlalu jelas," paparnya.
Advertisement