Sukses

Ekonom: Konsumsi Rumah Tangga Diprediksi Naik Imbas Mudik Lebaran 2022

Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 diperkirakan berkisar 4,5-4,9 persen dampak dari kenaikan konsumsi masyarakat saat Lebaran 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, momen Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini diperkirakan menjadi pendorong peningkatan belanja masyarakat dan apalagi dengan mudik yang sudah dibolehkan oleh pemerintah.

Konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2022 diperkirakan akan meningkat, dimana faktor musiman yakni bulan Ramadhan dan Idul fitri, “ kata Josua kepada Liputan6.com, Jumat (29/4/2022).

Dia menjelaskan, perkiraan peningkatan konsumsi masyarakat tersebut juga terindikasi dari peningkatan mobilitas masyarakat, dimana pemerintah yang dapat mengendalikan kasus COVID-19 sehingga tidak ada pengetatan PPKM.

“Konsumsi masyarakat yang akan cenderung meningkat pada kuartal II 2022 juga didorong oleh pemberian THR,” ujarnya.

Lebih lanjut, terkait dengan dampak kenaikan tarif PPN, kenaikan harga komoditas pangan dan harga BBM non-subsidi yang terjadi pada kuartal II-2022, diperkirakan dampaknya relatif terbatas.

Lantaran kenaikan beberapa harga komoditas pangan diperkirakan akan cenderung temporer atau sementara karena faktor musiman. Sementara pemerintah juga terus berupaya menstabilkan kembali harga minyak goreng, dengan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng/CPO, serta menyalurkan BLT minyak goreng bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Jadi secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 diperkirakan berkisar 4,5-4,9 persen, dengan mempertimbangkan high base effect pada kuartal II-2021, dimana pertumbuhan ekonomi tercatat 7,07 persen,” pungkasnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

S&P Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022 Capai 5,1 Persen

Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan meningkat menjadi 5,1 persen setelah sebelumnya tumbuh 3,7 persen pada 2021.

Namun, Indonesia juga perlu mewaspadai risiko yang berasal dari krisis Rusia-Ukraina. S&P memandang, meski peningkatan harga komoditas diperkirakan dapat mendorong pendapatan perusahaan dan penerimaan fiskal, namun terdapat risiko penurunan pertumbuhan ekonomi global yang dapat menekan permintaan global.

Selain itu, kenaikan inflasi berpotensi menekan kinerja konsumsi domestik. Meski demikian, S&P menilai UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 akan memperbaiki iklim usaha, sehingga dapat mendorong investasi dan tingkat pertumbuhan potensial ekonomi.

Di sisi eksternal, S&P memandang kinerja eksternal Indonesia ditopang oleh perbaikan terms of trade sejalan dengan kenaikan harga komoditas. Harga beberapa komoditas ekspor utama Indonesia yang meningkat seperti batu bara, tembaga, gas alam, dan nikel, serta permintaan global yang menguat, telah mendorong kenaikan penerimaan transaksi berjalan.

S&P juga berpandangan bahwa kebijakan Pemerintah untuk mendorong peningkatan nilai tambah untuk produk pertambangan juga dapat meningkatkan penerimaan ekspor. Kondisi ini juga menyebabkan cadangan devisa Indonesia diperkirakan akan berada dikisaran USD 140 miliar, didukung oleh neraca pembayaran yang dinamis.

3 dari 3 halaman

Pemulihan Ekonomi

Di sisi fiskal, S&P menilai Indonesia telah menunjukkan kemajuan untuk kembali ke level defisit fiskal yang moderat. Pada 2021, Pemerintah telah berhasil menurunkan defisit fiskal menjadi 4,7 persen dari PDB, jauh lebih baik dari defisit fiskal sebesar 6,1 persen dari PDB pada 2020.

S&P memproyeksikan defisit fiskal akan terus menurun menjadi 4 persen dari PDB pada 2022, didukung oleh kenaikan penerimaan sejalan dengan harga komoditas yang meningkat dan kegiatan ekonomi domestik yang kembali normal.

S&P juga menyatakan, utang pemerintah Indonesia relatif stabil pasca peningkatan yang cukup signifikan pada 2020. Namun, beban bunga berpotensi akan mencatat peningkatan seiring dengan tren kenaikan suku bunga global selama satu hingga dua tahun ke depan.

S&P mencatat Bank Indonesia telah berperan signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meredam dampak gejolak ekonomi dan keuangan terhadap ekonomi domestik. Dukungan Bank Indonesia dalam pembiayaan defisit fiskal melalui pembelian surat berharga Pemerintah, dapat membantu Pemerintah mengelola beban bunga ketika pasar keuangan sedang mengalami tekanan.

"S&P sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB/outlook negatif pada 22 April 2021," pungkasnya.